Jumat, April 3

Mengapa China Maju



Budaya China dan masyarakatnya, tak pelak, merupakan kisah sukses yang paling terkenal. Maju pesatnya perekonomian China sejak beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa “Sang Naga” memang tengah menggeliat, baru bangun dari tidur panjangnya.
Sebagaimana diketahui, kini banyak barang produksi China telah merambah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, bahkan memasuki AS dan Eropa, negara yang dikenal paling ketat dalam mengawasi produk-produk luar. Tidak heran, PBB menganggap China sebagai negara yang paling pesat pertumbuhan ekonominya.
Sebenarnya, kesuksesan China sudah berlangsung sejak lama. Jauh sebelum abad Masehi, masyarakat purba China sudah mampu menemukan peralatan penting, seperti kompas, kertas, dan kode biner komputer. Para pakar Barat memang mengakui bahwa budaya China tidak tertandingi dalam sejarah umat manusia. Budaya tersebut memiliki banyak sekali rahasia tentang motivasi dan kesuksesan sejak zaman dulu hingga zaman sekarang.

Mereka percaya budaya China berlangsung sepanjang masa. Bukti konkretnya adalah manakala peradaban-peradaban kuno lain seperti Sumeria, Babylonia, Mesir, Romawi, dan Yunani timbul tenggelam ditelan waktu, budaya China tetap bertahan terus. Peradaban China dikatakan “memiliki haluan untuk bersemi kembali setelah mengalami kemunduran” (Keajaiban Seni Motivasi Bangsa Cina Kuno, 2007).
Konon, ketika para kaisar saling mengalahkan satu sama lain, mereka cenderung merusak budaya dari pihak yang kalah. Namun hal seperti itu justru tidak terjadi ketika Mongol dan Manchu mengalahkan China. Sebagai gantinya, budaya China “memenangkan” mereka. Dalam hal ini, kebudayaan China malah dilestarikan dan dikembangkan.
Budaya China bertahan begitu lama karena kuat, praktis, dan penuh kearifan. Apalagi didukung para pemimpin China yang hampir selalu mempelajari jiwa manusia dan menulis beberapa teks kuno, seperti I Ching dan Tung Shu. Dari masa kuno juga terwariskan buku-buku tentang filsafat Tao dan filsafat Sun Tzu yang amat terkenal.
Teks-teks kuno itu mampu memberikan wawasan, pedoman, aturan, dan prinsip tentang kesuksesan, pengelolaan usaha, perkimpoian, keluarga, pendirian negara, strategi, bahkan perang. Hasil-hasilnya terlihat jelas bahwa rakyat China adalah orang-orang yang luar biasa dalam praktik, mampu beradaptasi, dan selalu sukses hampir di semua perjalanan hidup mereka di seantero dunia. Mereka bukan saja menjadi penguasa perekonomian baru, tetapi juga berjaya di bidang ilmu pengetahuan dan olahraga.
Adaptasi
Budaya China memang sempat mengalami kemunduran karena pengaruh Barat, seperti akibat Perang Candu dan Perang Dunia II. Namun karena kemampuan beradaptasi dan masyarakatnya berjiwa avonturir, budaya China justru semakin berkembang luas di seluruh dunia. Hal yang amat nyata diperlihatkan oleh hadirnya China Town di berbagai negara, termasuk Pecinan di Indonesia. Adanya China Town tentu saja merupakan bukti keberhasilan bisnis China di wilayah itu. Kemampuan adaptasi orang China juga terlihat dari kemampuan mereka membuat makanan dalam bentuk apa saja yang mengesankan. Dulu, misalnya, di pantai-pantai Eropa banyak sekali terlihat kepiting berlari-lari di atas pasir. 

Ketika air laut surut, banyak kerang menempel di batu-batu karang. Dengan riang orang-orang China menangkapi kepiting dan mengambili kerang lalu memasaknya sebagai makanan yang lezat dan bergizi.
Hal ini sebelumnya tidak terbayangkan oleh bangsa Eropa bahwa sesungguhnya kepiting dan kerang bisa dimakan. Kemampuan orang China untuk mengubah sebagian besar apa saja menjadi makanan enak dan mahal merupakan kisah legendaris, sekaligus bukti dari kemampuan adaptasi pikiran dan perasaan mereka.
Konon, rahasia utama budaya China adalah memadukan pelajaran tentang motivasinya dengan seni pada berbagai benda yang indah dan rumit. Artinya, filosofi motivasi China diterjemahkan ke dalam sesuatu yang memiliki daya tarik, gaib, dan mistis.
Dengan demikian motivasi China banyak mengandung kecerdasan sehingga dipandang memiliki corak yang indah dan cemerlang. Selain itu, para pemimpin China kuno mencurahkan beberapa ungkapan dan simbol guna menekankan betapa pentingnya kemampuan otak. Ini ditandai dengan betapa banyaknya karakter dalam huruf Kanji dimana setiap huruf mengandung makna tersendiri. Simbolisasi sering dipakai untuk memberi motivasi. Ikan mas, misalnya, dipercaya adalah simbol ketekunan. Menurut filosofi China purba, “dengan ketekunan, orang bodoh sekalipun bisa menyingkirkan gunung”. Masih banyak simbol lain yang dikenal, seperti tentang kekayaan, nasib, dan keberuntungan. Ternyata, simbol-simbol keberkahan yang penuh cemerlang itu menciptakan pandangan yang optimistis tentang kekayaan dan keberuntungan, yang hampir tidak jelas menciptakan keinginan di dalam pola pikir untuk menjadi kaya dan sukses.
Kemampuan adaptasi dan motivasi yang dilakukan masyarakat China banyak mengilhami peneliti-peneliti Barat. Untuk itu sejak abad XVIII mereka giat menerjemahkan teks-teks kuno China. Berkat merekalah kini masyarakat modern di seluruh penjuru dunia mengenal feng shui (ilmu tata letak bangunan), akupunktur, akupresur, dan refleksiologi (ilmu pengobatan), teori yin yang (keseimbangan hidup), dan berbagai ilmu ramalan.

Leluhur
Masyarakat China kuno percaya keutuhan keluarga merupakan kunci utama kesuksesan. Begitu pula bakti kepada leluhur. Mereka sering “menerjemahkannya” lewat puisi, seperti puisi berikut: Andaikan ayah dan anak bersatu/Gunung-gunung menjadi batu permata/Andaikan jantung kakak beradik sama/Bumi pun bisa menjadi emas. Puisi ini menyiratkan kesan bahwa harus ada kerja keras di antara manusia. Begitulah, puisi-puisi seperti inilah yang mampu menjadi motivator kemajuan bangsa dan negara.
Perhatian masyarakat China terhadap keluarga dan leluhur tercermin pada kesetiaan mereka merawat makam-makam kerabat. Bahkan ada yang memperlakukannya secara berlebihan. Sementara itu, kaisar-kaisar zaman dulu banyak mewariskan kenangan leluhur yang mulia. Menurut penulis buku tentang China, Ong Tang, meskipun sering disalahgunakan, namun warisan-warisan tersebut mengandung rahasia kesuksesan akhir yang sangat mengagumkan. Pemujaan kepada leluhur sering dikaitkan dengan festival. Pada masa kuno festival memiliki arti khusus karena dihubungkan dengan pemujaan untuk mengenang para dewa. Menurut orang-orang bijak zaman dulu, termasuk Konghucu (Confucius), bangsa yang mengabaikan perayaan-perayaan festival utama akan terancam binasa. Alasannya adalah orang ingin menikmati kesenangan dan lagi pula festival dapat menyatukan rakyat bersama-sama, terutama dengan para pemimpinnya.
Sampai kini mungkin masih banyak rahasia tersembunyi di China. Tak heran seorang nabi besar pernah berkata, “Kejarlah ilmu sampai ke negeri China”. Bagaimana dengan kita? Memang, kunci utama kesuksesan relatif sama pada semua bangsa, yakni ketekunan, keuletan, kejujuran, kerja keras, dan keberuntungan. Namun mengapa bangsa China memiliki keunggulan? Dan “mengapa” China mampu menghasilkan produk sedemikian banyak, bagus, dan murah.
Dikatakan, sebab penting kehebatan China adalah karena “jaring laba-laba” keluarga. Pedagang-pedagang dari China berhasil menembus pasar karena memanfaatkan jaring-jaring ini “baik di dalam negeri maupun di luar negeri”. Lalu dikatakan, “Umumnya orang China begitu erat rasa persaudaraannya. Nama marga mempererat persatuan dan amat membuka peluang kerja sama. Tak heran, orang China hanya memercayakan usahanya kepada bangsanya sendiri”.
Argumen seperti ini sering dikemukakan banyak penulis. Penanam modal ter-besar di China bukan orang dari Jepang atau Amerika, tetapi “orang China perantauan” (overseas Chinese). Siapa mereka? Mereka adalah orang China dari Taiwan dan Hongkong. Belum jelas, apakah orang China Asia Tenggara juga membawa modalnya ke China dalam jumlah besar. Cultural proximity ini sering dipakai untuk menjelaskan mengapa modal dari Taiwan dan Hongkong masuk daratan China.
Selain itu, dilontarkan argumen tambahan, yaitu pengusaha China sedemikian “percaya” satu sama lain. ‘Artinya, konsumen tinggal menghubungi via telepon dan pedagang dengan cepat mengirim barang sesuai pesanan. Kejujuran dipegang teguh meski konsumen belum memberikan uangnya”. Pernyataan ini harus dikoreksi: bukan antara pedagang dan konsumen, tetapi antarpedagang, ada saling percaya, terutama dalam hal kredit. Pengusaha China terkenal karena trust yang tinggi sehingga mereka dapat merebut peluang sekecil apa pun. Pada saat ada kesempatan dan modal yang diperoleh dengan cepat, mereka segera merebut kesempatan itu.
“Trust”
Trust antarpedagang China ini menarik perhatian banyak sosiolog. Mereka sendiri memakai istilah guanxi (hubungan) guna menjelaskan gejala trust antarmereka. Guanxi ini sebenarnya tidak terbatas pada hubungan kekeluargaan saja. Hubungan-hubungan lain yang bisa menimbulkan GuanXi misalnya kesamaan asal daerah (desa, kabupaten, provinsi), kesamaan sekolah (alumni), dan persahabatan. Pilih salah satu dari variabel itu. dan Anda akan menemukan dasar bagi GuanXi.
Dalam peribahasa China dikatakan: jiali kao fumu, chumen kao pengyou. “Di rumah orang bersandar pada bapak-ibu, di luar rumah orang menggantungkan diri pada sahabat”. Persahabatan di China dijunjung tinggi. Salah satu dari lima hubungan ajar-an Konfusius (wu tun) adalah hubungan antarsahabat. Jika orang China suka pada seseorang, ia akan cepat mengatakan pengyou (sobat). Jika sungguh suka dan percaya, ia akan memakai istilah lao pengyou (sobat lama).
Trust ini lain dibanding trust yang dibangun dalam institusi modern. Kehidupan modern, termasuk ekonomi, tidak bisa bertahan jika tidak ada trust. Dapat dikatakan trust di dunia modern diletakkan berdasar kepastian hukum. Namun trust di kalangan orang China dibangun atas dasar yang berbeda. Trust di kalangan orang China didasarkan kekeluargaan, kedaerahan, alumni sekolah, dan persahabatan.
Orang akan mengatakan, trust yang didasarkan atas hukum lebih “terbuka” di-banding yang didasarkan faktor-faktor di atas. Tidak mungkin membangun trust dengan orang China jika bukan berasal dari keluarga, daerah, atau alumni sekolah! Masih ada peluang lain, lewat hubungan persahabatan (pengyou). Dalam banyak legenda dari China dilukiskan banyak hubungan persahabatan yang mengharukan. Sampai hari ini pun sering ditemukan banyak persahabatan antarorang China yang erat, bahkan sama atau melebihi hubungan dengan anggota keluarga.
Indonesia juga
Pembicaraan tentang trust dan guanxi sebenarnya menggugat semua teori hubungan transaksi yang didasarkan atas teori hubungan pasar. Dalam situasi pasar, semua individu adalah rival atau kompetitor yang bersaing, bahkan bersaing dengan tidak jujur. Karena itu, semua transaksi harus didasarkan atas secarik kertas yang berisi kontrak, hitam atas putih, yang dijamin negara sebagai pemegang alat pemaksa yang sah. Akibatnya orang menjadi musuh bagi orang lain. Hubungan keluarga, kedaerahan, sekolah, dan persahabatan, semua dianggap tidak relevan. Saudara dan saudara bisa saling menggugat di pengadilan, sahabat dan sahabat bisa terlibat pengadilan bertele-tele. Yang penting, kepentingan pribadi (self-interest) harus menang lewat kompetisi bengis di tengah pasar.

Kultur China justru mengajarkan kebalikannya. Boleh ada pasar, tetapi hubungan balk antarmanusia tetap jalan. Boleh ada persaingan, tetapi tolong-menolong antarkeluarga, orang sedaerah, satu alumni, dan sahabat tidak boleh dilupakan. Pasar selalu embedded, tidak mengalahkan guanxi. Bisa saja dikatakan hal ini akan menimbulkan nepotisme dan kolusi, tetapi dibuktikan empiris, guanxi mendukung pertumbuhan dahsyat ekonomi China. Apakah di Indonesia tidak ada fenomena yang sama? Ada, dan mirip. Kekeluargaan penting, kedaerahan, bahkan hubungan alumni juga penting. Lihat pasar-pasar di Jakarta yang didominasi berbagai suku, juga kantor-kantor pemerintah maupun swasta penuh alumni universitas tertentu. Semangat “tolong-menolong” dan “gotong royong” masih ada, belum hilang. Ada kekhawatiran, ini dapat menimbulkan korupsi, tetapi mengapa tidak bisa sebaliknya, menimbulkan social capital seperti di kalangan orang China? Mungkin kini orang Indonesia sedang lupa jati diri, bingung, dan memakai aneka “teori” aneh, yang justru memperlemah semangat membangun bangsa.

Kamis, April 2

Inilah Cara China menjadi Raksasa Dunia



Siapa yang tidak tahu China, raksasa Asia kini menjelma menjadi raksasa dunia dengan berbagai kemajuan di setiap dimensi kehidupan, dari ekonomi, budaya, peradaban, olah raga sampai kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, apa sebenarnya yang menjadi rahasia dibalik kesuksesan China tersebut?. Bagaimanakah cara menciptakan peradaban yang begitu agung, megah dan maju pesat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi.
China merupakan negara yang berkependudukan paling banyak di dunia, jumlah penduduk pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 1.324.655.000. Namun, dengan banyaknya penduduk tersebut tidak mempengaruhi produk-produk yang diproduksi oleh China. Hampir dapat dikatakan produk-produk berlabel made in China medominasi pasar dunia mulai dari sekedar peniti sampai perangkat elektronika canggih. Lantas apa yang membuat China sedemikian maju?
Di saat negara kita sedang berjuang mati-matian untuk meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, di lain pihak Cina justru mengalami tekanan dari dunia agar mau mengambangkan nilai mata uangnya yang dinilai dipatok terlau rendah. Pematokan nilai yuan yang sudah dilakukan semenjak tahun 1994 ini diprotes karena dianggap sebagai penyebab utama miringnya harga produk-produk Cina di pasaran dunia (Sarnianto, 2004). Kekhawatiran tersebut memang beralasan melihat hampir dapat dikatakan produk-produk berlabel made in China medominasi pasar dunia mulai dari sekedar peniti sampai perangkat elektronika canggih.
Banyak faktor yang mendorong perekonomian Cina sehingga bisa menjadi seperti sekarang ini, dimana dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7% setiap tahunnya telah mengantarkan Cina sebagai salah satu raksasa perekonomian dunia. Faktor nilai tukar mata uang sudah pasti bukanlah satu-satunya penyebab produk-produk negara dengan populasi terbesar di dunia ini mampu berjaya menguasai pasar dunia. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat kalau hanya faktor itu, seharusnya Indonesia juga sudah bisa mengambil mamfaat dari nilai tukar rupiah yang sangat menyedihkan.
Salah satu hal lain yang lebih penting dari itu adalah faktor apakah yang menyebabkan Cina bisa begitu produktif untuk dapat menghasilkan produk-produk berkualitas yang sangat diterima oleh pasar dunia. Negara-negara G-7 saja bahkan secara terang-terangan merangkul Cina yang saat ini menduduki peringkat keempat dalam perdagangan dunia, di bawah AS, Jerman dan Jepang untuk mau berbagi dan berbicara dalam forum mereka (Pikiran Rakyat, 2 Oktober 2004). Ternyata selain karena aliran modal asing dan teknologi tinggi, yang justru sangat menarik dari pengalaman Cina adalah besarnya peran Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan bisnis swasta daerah yang disebut sebagai Township and Village Enterprises (TVEs) dalam menopang kekuatan ekspornya.

Peran Penting TVEs Bagi Perekonomian Cina
Sumbangsih TVEs bagi perekonomian Cina memang tidak bisa disepelekan. TVEs yang semula merupakan perkembangan dari industri pedesaan yang digalakkan oleh pemerintah Cina. Jika pada tahun 1960 jumlahnya hanya sekitar 117 ribu, namun semenjak reformasi tahun 1978 jumlahnya mengalami pertumbuhan spektakuler menjadi 1,52 juta. Apabila dilihat dari sisi penyediaan lapangan kerja, TVEs di akhir tahun 1990-an telah menampung setengah dari tenaga kerja di pedesaan Cina.
Walaupun perkembangan TVEs ini sempat mengalami pasang surut dan tidak merata di seluruh wilayah Cina, namun secara rata-rata mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan. Produksi dari TVEs meningkat dengan rata-rata 22,9 persen pada periode 1978-1994. Secara nasional, output TVEs pada tahun 1994 mencapai 42% dari seluruh produksi nasional. Sedangkan untuk volume ekspor, TVEs memberikan kontribusi sebesar sepertiga dari volume total ekspor Cina pada tahun 1990-an (Pamuji, 2004).
Dilihat dari sisi perdagangan secara angka di atas kertas memang masih terlihat bahwa ekspor kita masih surplus dibanding Cina. Menurut data yang diperoleh dari Dubes RI di China, bahwa tepatnya sampai dengan 3 Agustus 2004 dilihat dari sudut pandang perdagangan luar negeri China, saat ini Indonesia merupakan negara tujuan ekspor urutan ke-17 dengan nilai 2,66 miliar dollar AS atau 1,03 persen dari total ekspor China yang mencapai nilai 258,21 miliar dollar AS. Indonesia juga menjadi negara asal impor ke-17 bagi China dengan nilai ekspor 3,44 miliar dollar AS (Osa, 2004).
Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan tampak bahwa barang-barang produksi Cina terlihat di mana-mana. Kita tidak menutup mata bahwa banyak produk dari negeri panda tersebut yang masuk secara ilegal ke Indonesia sehingga tidak ikut tercatat secara resmi dalam laporan tersebut. Namun penjelasan dari Ketua Umum Kadin Indonesia Komite Cina, Sharif Cicip Sutardjo sangat masuk akal. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Sinar Harapan dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke Cina memang besar namun sebagian besar merupakan bahan mentah dengan jumlah item yang sangat sedikit, kurang lebih hanya 15 item seperti migas, CPO, karet, kayu, dan lain-lain. Sedangkan dari Cina kita mengimpor ratusan item, mulai dari ampas, hasil pertanian, peralatan sampai ke motor dan mobil. Sebagian besar perusahaan yang menghasilkan produk-produk itu semua di Cina hanyalah industri swasta, UKM atau TVEs (www.sinarharapan.co.id/ ekonomi/industri/2003/1224/ind2.html).
Kenyataan ini sungguh berkebalikan dengan keadaan UKM kita yang kurang diberdayakan padahal memiliki potensi yang sangat besar. Jumlah UKM mencakup 99 % dari total seluruh industri di Indonesia dan menyerap sekitar 56 % dari jumlah total seluruh pekerja Indonesia (Rochman, 2003). Untuk itu sangat perlu kita lihat upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina untuk memajukan industri swasta khusunya UKM, mengingat UKM kita juga sebenarnya punya kemampuan. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter justru sektor UKM yang mampu bertahan.
Usaha Pemerintah Cina yang Dirintis Sejak Lama

Apa yang sekarang Cina nikmati dari industrinya terutama TVEs merupakan hasil usaha bertahun-tahun. Pada tahun 1986 dipimpin oleh State Science and Technology Commission (SSTC) Cina memperkenalkan Torch Program yang bertujuan untuk mengembangkan penemuan-penemuan dan penelitian-penelitian oleh universitas dan lembaga riset pemerintah untuk keperluan komersialisasi. Hasil yang diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan membuat New Technology Enterprises (NTEs). Selanjutnya SSTC mengembangkan 52 high-tchnology zones yang serupa dengan research park di Amerika dengan bertumpu pada NTEs tadi (Mufson, 1998). Walaupun NTEs ini bersifat perusahaan bersakala besar namun kedepannya memiliki peran sebagai basis dalam pengembangan teknologi untuk industri-industri kecil dan menengah.
Pemerintah Cina kemudian masih dengan SSTC mengeluarkan kebijakan untuk mendukung TVEs yang disebut sebagai The Spark Plan. Kebijakan ini terdiri dari 3 kegiatan utama yang berangkaian. Pertama, memberikan pelatihan bagi 200.000 pemuda desa setiap tahunnya berupa satu atau dua teknik yang dapat diterapkan di daerahnya. Kegiatan kedua dilakukan dengan lembaga riset di tingkat pusat dan tingkat provinsi guna membangun peralatan teknologi yang siap pakai di pedesaan. Dan yang ketiga adalah dengan mendirikan 500 TVEs yang berkualitas sebagai pilot project (Pamuji, 2004).
Pemerintah Cina juga berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan oleh industri. Mulai dari hal yang paling essensial dalam memulai sebuah usaha yaitu birokrasi perizinan yang mudah dan cepat, dimana dalam sebuah artikel dikatakan bahwa untuk memulai usaha di Cina hanya membutuhkan waktu tunggu selama 40 hari, bandingkan dengan Indonesia yang membutuhkan waktu 151 hari untuk mengurus perizinan usaha (www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/eko07.htm).
Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang untuk memacu ekspor yang disiapkan oleh pemerintah Cina secara serius. Bila pada tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, maka pada tahun 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 MT. Sementara untuk keperluan tenaga listrik pada tahun 2001 saja Cina telah mampu menyediakan sebesar 14,78 triliun kwh, dan saat ini telah dilakukan persiapan untuk membangun PLTA terbesar di dunia yang direncanakan sudah dapat digunakan pada tahun 2009 (Wangsa, 2005).
SDM Terbaik Sebagai Pengusaha

Dalam hal SDM untuk dunia usaha Cina juga tidak tanggung-tanggung dalam mengarahkan orang-orang terbaiknya untuk menjadi pengusaha yang handal. Sejak tahun 1990-an, Cina telah mengirimkan ribuan tenaga mudanya yang terbaik untuk belajar ke beberapa universitas terbaik di Amerika Serikat, seperti Harvard, Stanford, dan MIT. Di Harvard saja, Cina telah mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk mempelajari sistem ekonomi terbuka dan kebijakan pemerintahan barat, walaupun Cina masih menerapkan sistim ekonomi yang relatif tertutup. Sebagai hasilnya, Cina saat ini telah memiliki jaringan perdagangan yang sangat mantap dengan Amerika, bahkan memperoleh status sebagai The Most Prefered Trading Partner (Kardono, 2001).
Pemerintah Cina juga membujuk para overseas Chinese scholars and professionals, terutama yang sedang dan pernah bekerja di pusat-pusat riset dan MNCs di bidang teknologi di seluruh penjuru dunia untuk mau pulang kampung dan membuka perusahaan baru di Cina. Mantan-mantan tenaga ahli dari Silicon Valley dan IBM ini misalnya, diharapkan nantinya juga akan dapat mempermudah pembukaan jaringan usaha dengan MNCs ex-employer lainnya yang tersebar di seluruh dunia (www.mail-archive.com/bhtv @paume.itb.ac.id/msg00042.html). Tentu saja bujukan itu dilakukan dengan iming-iming kemudahan dan fasilitas untuk memulai usaha, seperti insentif pajak, kemudahan dalam perizinan, dan suntikan modal.
Indonesia Harus Bisa Mengambil Pelajaran dari Cina
Kita sebaiknya bisa belajar dari kesuksesan Cina mengembangkan dunia usaha dan industrinya. Hal ini jauh lebih baik ketimbang hanya menggerutu melihat produk-produk Cina yang membanjiri pasar dalam negeri. Merajalelanya produk-produk Cina dengan harga yang murah dan berkualitas harus dilihat tidak hanya sebagai ancaman, namun juga sebagai pemicu agar Indonesia bisa bergerak ke arah perbaikan. Pada kesempatan ini penulis dengan keterbatasan kapasitas yang dimiliki akan mencoba merumuskan beberapa masukan berupa langkah yang sebaiknya kita tempuh berkaitan dengan apa yang telah dilakukan dan diraih oleh Cina.
Pertama, yaitu kita harus mencoba mengkaji kebijakan-kebijakan Cina dalam perekonomian khususnya dalam memajukan dunia usahanya. Setelah itu dirumuskan manakah yang bisa dan tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini mengingat keadaan , latar belakang, dan budaya Cina yang tidak sama dengan Indonesia.

Langkah kedua yang bisa ditempuh adalah dengan mempererat hubungan kerja sama dengan Cina, tidak saja dalam ekonomi namun juga pada bidang-bidang lainnya yang dianggap penting. Dalam bidang ekonomi dan keamanan misalnya dengan membuat nota kesepahaman tentang kerjasama dalam penanganan penyelundupan di kedua negara. Bentuk kerjasama yang lain misalnya adalah dengan melakukan sinergi industri antara kedua negara. Seperti yang sudah berjalan pada industri lilin antara Indonesia dan Cina, dimana terdapat kesepakatn tidak tertulis dalam pembagian fokus industri, dengan pembagian industri hulu dan menegah yang ditangani Indonesia sedangkan hilir dipegang oleh Cina.
Ketiga, adalah dengan menciptakan budaya wirausaha di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan dengan meniru langkah pemerintah Cina dengan kebijakan-kebijakannya dalam merangsang munculnya para pengusaha-pengusaha baru. Akan tetapi apabila dilihat lebih cermat, sebenarnya yang menjadi masalah utama di Indonesia terletak pada paradigma berpikir masyarakatnya. Di Indonesia hampir tidak ada kita kita lihat keinginan yang besar dari kalangan terdidik untuk menjadi pengusaha.
Penyebabnya bisa jadi karena malas dan takut mengambil resiko untuk berjuang dari nol apabila menjadi pengusaha. Masyarakat kita juga pada umumnya menaruh simpati yang lebih besar pada profesi-profesi yang secara praktis terlihat ekslusif, seperti dokter, akuntan, dan pengacara dibanding dengan wirausaha. Keadaan ini lebih diperburuk dengan sistem pendidikan kita yang cenderung mengabaikan pelajaran tentang kewirausahaan dan kepemimpinan. Hal ini sangat berkebalikan dengan budaya wirausaha yang sangat kental dari penduduk Cina.Langkah keempat adalah dengan memaksimalkan peran akademisi yaitu peneliti untuk menunjang dunia usaha. Selama ini diantara banyak kendala dunia usaha kita terutama UKM, yang paling besar adalah dari sisi teknologi dan metode yang tidak efisien dan jauh tertinggal dari pesaingnya di luar negeri. Untuk itu kiranya para peneliti mau turun dari menara gading untuk mau membantu penelitian industri-industri di Indonesia. Sudah saatnya penelitian yang dilakukan bisa lebih membumi sehingga dapat juga dinikmati oleh industri-industri kecil dan menengah.
Faktor makanan

Ikan merupakan makanan bagi orang China. Sebagaimana kita ketahui bahwa di dalam ikan terdapat unsur-unsur yang sangat membantu kerja otak diantaranya adalah protein. Cara penyajiannya pun tidak dengan dimasak matang. Ikan yang sudah ditangkap hanya diberikan bumbu yang ditaburkan di sisi ikan tersebut. Sehingga kandungan protein di dalam ikan tersebut tidak hilang. Selain ikan, masyarakat China juga banyak menghidangkan sayuran hijau. Dengan keduanya menjadikan rakyat China mempunyai otak yang cemerlang.
Faktor Pendidikan
Ketika seorang anak tumbuh dewasa, seorang ayah akan mengambil keputusan pakah anak tersebut mengenyam pendidikan atau hanya menjadi penjaga gudang? Hal ini ditentukan dari bakat sang anak. Jika anak lebih condong ke pendidikan maka sang ayah tidak segan-segan untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang sekolah tinggi. Namun jika sang anak tidak tampak dalam dirinya untuk sekolah maka sang ayah akan menempatkan ia menjadi penjaga gudang saja. Kurang lebih begitulah cara orang China mendidik anak.
Lebih mulia jadi pedagang (dari pada jadi karyawan)
Orang China percaya bahwa hanya dengan berdaganglah mereka dapat menjadi kaya dan meningkatkan taraf hidup mereka. Dunia dagang adalah dunia yang menjanjikan kesenangan, kemewahan dan kebahagiaan. Kalau dulu ajaran Konfisianisme menganggap bahwa golongan pedagang menindas dengan mengambil keuntungan berlebih sehingga tidak begitu dihormati, maka ajaran tersebut ditafsirkan kembali dan malah memberi semangat bagi orang Tionghoa agar melibatkan diri dalam perdagangan. Menurut Ann Wang Seng, kedudukan sebagai pedagang dilihat lebih tinggi daripada pegawai, meskipun gajinya lebih besar. Berdagang sendiri berarti sesorang dapat menjadi bos dan tuan. Orang yang berdagang juga dikatakan berani dan hanya orang yang berani yang memiliki kesempatan menjadi kaya dan sukses.
Kerja keras, kerja keras dan kerja keras (kerja efektif)
Kalau dibilang nothing can replace hardwork itu memang ada benarnya. Salah satu resep keberhasilan dagang orang China adalah kerja keras. Kebanyakan jam kerja mereka lebih panjang dari orang lain. Walaupun sudah berhasil, mereka juga tetap bekerja antara 16-18 jam sehari. Banyak pengusaha sukses dapat lahir tanpa bekal apapun, kecuali semangat, keyakinan dan usaha yang tidak mengenal kata jemu. Orang China percaya bahwa hanya dengan bekerja keras dan berani membuka peluang, mereka akan berhasil.

Risk taker (OINK! luv it)
Selain daya juang dan semangat yang tinggi, hal menonjol lainnya adalah sikap risk taking. Bagi orang China, pedagang sejati dan pandai adalah yang menyukai risiko dan tantangan. Semakin tinggi risiko, makin banyak peluang yang tersedia. Selain itu, masalah juga harus dijadikan batu loncatan, bukannya penghalang untuk berhasil.
Pintar melihat peluang (Buka mata, liat sekeliling)
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, ’tinggalkan orang China di mana saja, mereka akan dapat hidup dan menciptakan peluang dagang. Orang China adalah bangsa yang paling fleksibel, mudah berubah dan menyesuaikan diri di manapun. Mereka akan dapat hidup dan mencari makan di manapun mereka berada. Orang China mudah beradaptasi untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim ekonomi dan perilaku pasar. Tak heran, banyak peluang bisnis yang mereka ciptakan dari bisnis yang awalnya dianggap tidak menguntungkan, seperti menjual air di pinggir jalan, berjualan surat kabar lama, kaleng kosong dan lain sebagainya.
Mulai dengan usaha ritel (Suatu hal tak kan ada seblum dicoba)
Dasar perdagangan orang China adalah toko ritel. Mereka belajar mengurus dan mengendalikan urusan jual beli melalui perdagangan toko ritel. Menguasai toko ritel berarti akan menguasai pasar, dan kemudian menjadi penentu bagi kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Tidak heran jika mereka menguasai bukan saja urusan jual beli, namun juga pengeluaran, pemasaran, distribusi, promosi sampai menentukan laku atau tidaknya produk itu.
Jaringan yang solid (Koneksi di banyakin fren)
Kalau selama ini kita lihat jaringan bisnis China sangat kuat di antara sesama mereka, itu karena konsep bisnis mereka. Mereka menganggap bahwa setiap pedagang saling melengkapi. Misalnya, restoran akan mengambil suplai bahan makanannya dari toko-toko makanan yang berada di sekitarnya. Dengan demikian, perdagangan di kawasan itu akan berkembang pesat karena sudah terwujud sikap saling membantu dan saling dukung yang kuat di kalangan pedagang. Bagi orang Tionghoa, kegiatan perdagangan perlu diperbanyak ragam dan jenisnya karena selain dapat memberikan pilihan kepada pembeli, hal ini juga dapat membantu pedagang lain mendapatkan penghasilan. Etika yang tidak tertulis ini memungkinkan para pedagang Tionghoa dapat hidup di satu kawasan dan menguasai pasar.
Sedekah

Agar keuntungan terus bertambah, sebagian keuntungan harus dialokasikan bagi mereka yang membutuhkan. Orang memercayai bahwa derma yang disalurkan kepada orang miskin, institusi pendidikan, organisasi sosial, panti jompo, golongan cacat dan pelajar-pelajar yang tidak mampu bukan saja suatu hal yang baik, namun juga akan mendapat berkah. Keuntungan berderma mungkin bukan dalam bentuk materi, melainkan nama baik, dan budi pekerti yang senantiasa akan dikenang.
Dalam budaya Cina, orang Cina melakukan tirakat dengan makan bubur sebelum sukses. Dalam ilmunya R.Kiyosaki, kita tidak boleh tergoda untuk memiliki Liabilitas, sebelum Asset kita benar-benar bekerja menghasilkan kekayaan bagi kita.

Alhasil, China berhasil dengan adanya usaha yang keras dari diri pribadi. Sehingga China bisa menjadi negara yang sukses dan berkembang. Maka benarlah apa-apa yang dikatakan oleh Nabi SAW “tuntutlah ilmu walau sampai di negeri China”, semua itu terbukti dengan kesuksesan China pada zaman dahulu hingga sekarang