Budaya
China dan masyarakatnya, tak pelak, merupakan kisah sukses yang paling
terkenal. Maju pesatnya perekonomian China sejak beberapa tahun lalu menunjukkan
bahwa “Sang Naga” memang tengah menggeliat, baru bangun dari tidur panjangnya.
Sebagaimana
diketahui, kini banyak barang produksi China telah merambah Asia, Afrika, dan
Amerika Selatan, bahkan memasuki AS dan Eropa, negara yang dikenal paling ketat
dalam mengawasi produk-produk luar. Tidak heran, PBB menganggap China sebagai
negara yang paling pesat pertumbuhan ekonominya.
Sebenarnya,
kesuksesan China sudah berlangsung sejak lama. Jauh sebelum abad Masehi,
masyarakat purba China sudah mampu menemukan peralatan penting, seperti kompas,
kertas, dan kode biner komputer. Para pakar Barat memang mengakui bahwa budaya
China tidak tertandingi dalam sejarah umat manusia. Budaya tersebut memiliki
banyak sekali rahasia tentang motivasi dan kesuksesan sejak zaman dulu hingga
zaman sekarang.
Mereka
percaya budaya China berlangsung sepanjang masa. Bukti konkretnya adalah
manakala peradaban-peradaban kuno lain seperti Sumeria, Babylonia, Mesir,
Romawi, dan Yunani timbul tenggelam ditelan waktu, budaya China tetap bertahan
terus. Peradaban China dikatakan “memiliki haluan untuk bersemi kembali setelah
mengalami kemunduran” (Keajaiban Seni Motivasi Bangsa Cina Kuno, 2007).
Konon,
ketika para kaisar saling mengalahkan satu sama lain, mereka cenderung merusak
budaya dari pihak yang kalah. Namun hal seperti itu justru tidak terjadi ketika
Mongol dan Manchu mengalahkan China. Sebagai gantinya, budaya China
“memenangkan” mereka. Dalam hal ini, kebudayaan China malah dilestarikan dan
dikembangkan.
Budaya
China bertahan begitu lama karena kuat, praktis, dan penuh kearifan. Apalagi
didukung para pemimpin China yang hampir selalu mempelajari jiwa manusia dan
menulis beberapa teks kuno, seperti I Ching dan Tung Shu. Dari masa kuno juga
terwariskan buku-buku tentang filsafat Tao dan filsafat Sun Tzu yang amat
terkenal.
Teks-teks
kuno itu mampu memberikan wawasan, pedoman, aturan, dan prinsip tentang
kesuksesan, pengelolaan usaha, perkimpoian, keluarga, pendirian negara,
strategi, bahkan perang. Hasil-hasilnya terlihat jelas bahwa rakyat China
adalah orang-orang yang luar biasa dalam praktik, mampu beradaptasi, dan selalu
sukses hampir di semua perjalanan hidup mereka di seantero dunia. Mereka bukan
saja menjadi penguasa perekonomian baru, tetapi juga berjaya di bidang ilmu
pengetahuan dan olahraga.
Adaptasi
Budaya
China memang sempat mengalami kemunduran karena pengaruh Barat, seperti akibat
Perang Candu dan Perang Dunia II. Namun karena kemampuan beradaptasi dan
masyarakatnya berjiwa avonturir, budaya China justru semakin berkembang luas di
seluruh dunia. Hal yang amat nyata diperlihatkan oleh hadirnya China Town
di berbagai negara, termasuk Pecinan di Indonesia. Adanya China Town tentu saja
merupakan bukti keberhasilan bisnis China di wilayah itu. Kemampuan
adaptasi orang China juga terlihat dari kemampuan mereka membuat makanan dalam
bentuk apa saja yang mengesankan. Dulu, misalnya, di
pantai-pantai Eropa banyak sekali terlihat kepiting berlari-lari di atas
pasir.
Ketika
air laut surut, banyak kerang menempel di batu-batu karang. Dengan riang
orang-orang China menangkapi kepiting dan mengambili kerang lalu memasaknya
sebagai makanan yang lezat dan bergizi.
Hal ini
sebelumnya tidak terbayangkan oleh bangsa Eropa bahwa sesungguhnya kepiting dan
kerang bisa dimakan. Kemampuan orang China untuk mengubah sebagian besar apa
saja menjadi makanan enak dan mahal merupakan kisah legendaris, sekaligus bukti
dari kemampuan adaptasi pikiran dan perasaan mereka.
Konon,
rahasia utama budaya China adalah memadukan pelajaran tentang motivasinya dengan
seni pada berbagai benda yang indah dan rumit. Artinya, filosofi motivasi China
diterjemahkan ke dalam sesuatu yang memiliki daya tarik, gaib, dan mistis.
Dengan
demikian motivasi China banyak mengandung kecerdasan sehingga dipandang
memiliki corak yang indah dan cemerlang. Selain itu, para pemimpin China kuno
mencurahkan beberapa ungkapan dan simbol guna menekankan betapa pentingnya
kemampuan otak. Ini ditandai dengan betapa banyaknya karakter dalam huruf Kanji
dimana setiap huruf mengandung makna tersendiri. Simbolisasi sering
dipakai untuk memberi motivasi. Ikan mas, misalnya, dipercaya adalah simbol
ketekunan. Menurut filosofi China purba, “dengan ketekunan, orang bodoh
sekalipun bisa menyingkirkan gunung”. Masih banyak simbol lain yang dikenal,
seperti tentang kekayaan, nasib, dan keberuntungan. Ternyata,
simbol-simbol keberkahan yang penuh cemerlang itu menciptakan pandangan yang
optimistis tentang kekayaan dan keberuntungan, yang hampir tidak jelas
menciptakan keinginan di dalam pola pikir untuk menjadi kaya dan sukses.
Kemampuan
adaptasi dan motivasi yang dilakukan masyarakat China banyak mengilhami
peneliti-peneliti Barat. Untuk itu sejak abad XVIII mereka giat menerjemahkan
teks-teks kuno China. Berkat merekalah kini masyarakat modern di seluruh penjuru
dunia mengenal feng shui (ilmu tata letak bangunan), akupunktur, akupresur, dan
refleksiologi (ilmu pengobatan), teori yin yang (keseimbangan hidup), dan
berbagai ilmu ramalan.
Leluhur
Masyarakat
China kuno percaya keutuhan keluarga merupakan kunci utama kesuksesan. Begitu
pula bakti kepada leluhur. Mereka sering “menerjemahkannya” lewat puisi,
seperti puisi berikut: Andaikan ayah dan anak bersatu/Gunung-gunung menjadi
batu permata/Andaikan jantung kakak beradik sama/Bumi pun bisa menjadi emas. Puisi ini menyiratkan kesan bahwa harus ada kerja keras di antara
manusia. Begitulah, puisi-puisi seperti inilah yang mampu menjadi motivator
kemajuan bangsa dan negara.
Perhatian
masyarakat China terhadap keluarga dan leluhur tercermin pada kesetiaan mereka
merawat makam-makam kerabat. Bahkan ada yang memperlakukannya secara
berlebihan. Sementara itu, kaisar-kaisar zaman dulu banyak mewariskan
kenangan leluhur yang mulia. Menurut penulis buku tentang China, Ong Tang,
meskipun sering disalahgunakan, namun warisan-warisan tersebut mengandung
rahasia kesuksesan akhir yang sangat mengagumkan. Pemujaan kepada leluhur
sering dikaitkan dengan festival. Pada masa kuno festival memiliki arti khusus
karena dihubungkan dengan pemujaan untuk mengenang para dewa. Menurut orang-orang
bijak zaman dulu, termasuk Konghucu (Confucius), bangsa yang mengabaikan
perayaan-perayaan festival utama akan terancam binasa. Alasannya adalah orang
ingin menikmati kesenangan dan lagi pula festival dapat menyatukan rakyat
bersama-sama, terutama dengan para pemimpinnya.
Sampai
kini mungkin masih banyak rahasia tersembunyi di China. Tak heran seorang nabi
besar pernah berkata, “Kejarlah ilmu sampai ke negeri China”. Bagaimana dengan
kita? Memang, kunci utama kesuksesan relatif sama pada semua bangsa, yakni
ketekunan, keuletan, kejujuran, kerja keras, dan keberuntungan. Namun mengapa
bangsa China memiliki keunggulan? Dan “mengapa” China mampu menghasilkan
produk sedemikian banyak, bagus, dan murah.
Dikatakan,
sebab penting kehebatan China adalah karena “jaring laba-laba” keluarga.
Pedagang-pedagang dari China berhasil menembus pasar karena memanfaatkan
jaring-jaring ini “baik di dalam negeri maupun di luar negeri”. Lalu dikatakan,
“Umumnya orang China begitu erat rasa persaudaraannya. Nama marga mempererat
persatuan dan amat membuka peluang kerja sama. Tak heran, orang China hanya
memercayakan usahanya kepada bangsanya sendiri”.
Argumen
seperti ini sering dikemukakan banyak penulis. Penanam modal ter-besar di China
bukan orang dari Jepang atau Amerika, tetapi “orang China perantauan” (overseas
Chinese). Siapa mereka? Mereka adalah orang China dari Taiwan dan Hongkong.
Belum jelas, apakah orang China Asia Tenggara juga membawa modalnya ke China
dalam jumlah besar. Cultural proximity ini sering dipakai untuk menjelaskan
mengapa modal dari Taiwan dan Hongkong masuk daratan China.
Selain
itu, dilontarkan argumen tambahan, yaitu pengusaha China sedemikian “percaya”
satu sama lain. ‘Artinya, konsumen tinggal menghubungi via telepon dan pedagang
dengan cepat mengirim barang sesuai pesanan. Kejujuran dipegang teguh meski
konsumen belum memberikan uangnya”. Pernyataan ini harus dikoreksi: bukan
antara pedagang dan konsumen, tetapi antarpedagang, ada saling percaya,
terutama dalam hal kredit. Pengusaha China terkenal karena trust yang tinggi
sehingga mereka dapat merebut peluang sekecil apa pun. Pada saat ada kesempatan
dan modal yang diperoleh dengan cepat, mereka segera merebut kesempatan itu.
“Trust”
Trust
antarpedagang China ini menarik perhatian banyak sosiolog. Mereka sendiri
memakai istilah guanxi (hubungan) guna menjelaskan gejala trust antarmereka.
Guanxi ini sebenarnya tidak terbatas pada hubungan kekeluargaan
saja. Hubungan-hubungan lain yang bisa menimbulkan GuanXi misalnya
kesamaan asal daerah (desa, kabupaten, provinsi), kesamaan sekolah (alumni),
dan persahabatan. Pilih salah satu dari variabel itu. dan Anda akan menemukan
dasar bagi GuanXi.
Dalam peribahasa China dikatakan: jiali kao
fumu, chumen kao pengyou. “Di rumah orang bersandar pada bapak-ibu, di luar
rumah orang menggantungkan diri pada sahabat”. Persahabatan di China dijunjung
tinggi. Salah satu dari lima hubungan ajar-an Konfusius (wu tun) adalah
hubungan antarsahabat. Jika orang China suka pada seseorang, ia akan cepat
mengatakan pengyou (sobat). Jika sungguh suka dan percaya, ia akan memakai
istilah lao pengyou (sobat lama).
Trust ini
lain dibanding trust yang dibangun dalam institusi modern. Kehidupan modern,
termasuk ekonomi, tidak bisa bertahan jika tidak ada trust. Dapat dikatakan
trust di dunia modern diletakkan berdasar kepastian hukum. Namun trust di
kalangan orang China dibangun atas dasar yang berbeda. Trust di kalangan orang
China didasarkan kekeluargaan, kedaerahan, alumni sekolah, dan persahabatan.
Orang
akan mengatakan, trust yang didasarkan atas hukum lebih “terbuka” di-banding
yang didasarkan faktor-faktor di atas. Tidak mungkin membangun trust dengan
orang China jika bukan berasal dari keluarga, daerah, atau alumni sekolah!
Masih ada peluang lain, lewat hubungan persahabatan (pengyou). Dalam banyak
legenda dari China dilukiskan banyak hubungan persahabatan yang mengharukan.
Sampai hari ini pun sering ditemukan banyak persahabatan antarorang China yang
erat, bahkan sama atau melebihi hubungan dengan anggota keluarga.
Indonesia
juga
Pembicaraan
tentang trust dan guanxi sebenarnya menggugat semua teori hubungan transaksi
yang didasarkan atas teori hubungan pasar. Dalam situasi pasar, semua individu
adalah rival atau kompetitor yang bersaing, bahkan bersaing dengan tidak jujur.
Karena itu, semua transaksi harus didasarkan atas secarik kertas yang berisi
kontrak, hitam atas putih, yang dijamin negara sebagai pemegang alat pemaksa
yang sah. Akibatnya orang menjadi musuh bagi orang lain. Hubungan
keluarga, kedaerahan, sekolah, dan persahabatan, semua dianggap tidak relevan.
Saudara dan saudara bisa saling menggugat di pengadilan, sahabat dan sahabat
bisa terlibat pengadilan bertele-tele. Yang penting, kepentingan pribadi
(self-interest) harus menang lewat kompetisi bengis di tengah pasar.
Kultur
China justru mengajarkan kebalikannya. Boleh ada pasar, tetapi
hubungan balk antarmanusia tetap jalan. Boleh ada persaingan, tetapi
tolong-menolong antarkeluarga, orang sedaerah, satu alumni, dan sahabat tidak
boleh dilupakan. Pasar selalu embedded, tidak mengalahkan guanxi. Bisa saja
dikatakan hal ini akan menimbulkan nepotisme dan kolusi, tetapi dibuktikan
empiris, guanxi mendukung pertumbuhan dahsyat ekonomi China. Apakah di
Indonesia tidak ada fenomena yang sama? Ada, dan mirip. Kekeluargaan penting,
kedaerahan, bahkan hubungan alumni juga penting. Lihat pasar-pasar di Jakarta
yang didominasi berbagai suku, juga kantor-kantor pemerintah maupun swasta
penuh alumni universitas tertentu. Semangat “tolong-menolong” dan “gotong royong”
masih ada, belum hilang. Ada kekhawatiran, ini dapat menimbulkan korupsi,
tetapi mengapa tidak bisa sebaliknya, menimbulkan social capital seperti di
kalangan orang China? Mungkin kini orang Indonesia sedang lupa jati diri,
bingung, dan memakai aneka “teori” aneh, yang justru memperlemah semangat
membangun bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar