Siapa
yang tidak tahu China, raksasa Asia kini menjelma menjadi raksasa dunia dengan
berbagai kemajuan di setiap dimensi kehidupan, dari ekonomi, budaya, peradaban,
olah raga sampai kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, apa
sebenarnya yang menjadi rahasia dibalik kesuksesan China tersebut?.
Bagaimanakah cara menciptakan peradaban yang begitu agung, megah dan maju pesat
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi.
China
merupakan negara yang berkependudukan paling banyak di dunia, jumlah penduduk
pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 1.324.655.000. Namun, dengan banyaknya
penduduk tersebut tidak mempengaruhi produk-produk yang diproduksi oleh China.
Hampir dapat dikatakan produk-produk berlabel made in China medominasi pasar
dunia mulai dari sekedar peniti sampai perangkat elektronika canggih. Lantas
apa yang membuat China sedemikian maju?
Di saat
negara kita sedang berjuang mati-matian untuk meningkatkan nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, di lain pihak Cina justru mengalami tekanan dari
dunia agar mau mengambangkan nilai mata uangnya yang dinilai dipatok terlau
rendah. Pematokan nilai yuan yang sudah dilakukan semenjak tahun 1994 ini
diprotes karena dianggap sebagai penyebab utama miringnya harga produk-produk
Cina di pasaran dunia (Sarnianto, 2004). Kekhawatiran tersebut memang beralasan
melihat hampir dapat dikatakan produk-produk berlabel made in China medominasi
pasar dunia mulai dari sekedar peniti sampai perangkat elektronika canggih.
Banyak
faktor yang mendorong perekonomian Cina sehingga bisa menjadi seperti sekarang
ini, dimana dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7% setiap tahunnya
telah mengantarkan Cina sebagai salah satu raksasa perekonomian dunia. Faktor
nilai tukar mata uang sudah pasti bukanlah satu-satunya penyebab produk-produk
negara dengan populasi terbesar di dunia ini mampu berjaya menguasai pasar
dunia. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat kalau hanya faktor itu,
seharusnya Indonesia juga sudah bisa mengambil mamfaat dari nilai tukar rupiah
yang sangat menyedihkan.
Salah
satu hal lain yang lebih penting dari itu adalah faktor apakah yang menyebabkan
Cina bisa begitu produktif untuk dapat menghasilkan produk-produk berkualitas
yang sangat diterima oleh pasar dunia. Negara-negara G-7 saja bahkan secara
terang-terangan merangkul Cina yang saat ini menduduki peringkat keempat dalam
perdagangan dunia, di bawah AS, Jerman dan Jepang untuk mau berbagi dan
berbicara dalam forum mereka (Pikiran Rakyat, 2 Oktober 2004). Ternyata selain
karena aliran modal asing dan teknologi tinggi, yang justru sangat menarik dari
pengalaman Cina adalah besarnya peran Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan bisnis
swasta daerah yang disebut sebagai Township and Village Enterprises (TVEs)
dalam menopang kekuatan ekspornya.
Peran
Penting TVEs Bagi Perekonomian Cina
Sumbangsih
TVEs bagi perekonomian Cina memang tidak bisa disepelekan. TVEs yang semula
merupakan perkembangan dari industri pedesaan yang digalakkan oleh pemerintah
Cina. Jika pada tahun 1960 jumlahnya hanya sekitar 117 ribu, namun semenjak
reformasi tahun 1978 jumlahnya mengalami pertumbuhan spektakuler menjadi 1,52
juta. Apabila dilihat dari sisi penyediaan lapangan kerja, TVEs di akhir tahun
1990-an telah menampung setengah dari tenaga kerja di pedesaan Cina.
Walaupun
perkembangan TVEs ini sempat mengalami pasang surut dan tidak merata di seluruh
wilayah Cina, namun secara rata-rata mengalami pertumbuhan yang sangat
mengesankan. Produksi dari TVEs meningkat dengan rata-rata 22,9 persen pada periode
1978-1994. Secara nasional, output TVEs pada tahun 1994 mencapai 42% dari
seluruh produksi nasional. Sedangkan untuk volume ekspor, TVEs memberikan
kontribusi sebesar sepertiga dari volume total ekspor Cina pada tahun 1990-an
(Pamuji, 2004).
Dilihat dari sisi perdagangan secara angka di
atas kertas memang masih terlihat bahwa ekspor kita masih surplus dibanding
Cina. Menurut data yang diperoleh dari Dubes RI di China, bahwa tepatnya sampai
dengan 3 Agustus 2004 dilihat dari sudut pandang perdagangan luar negeri China,
saat ini Indonesia merupakan negara tujuan ekspor urutan ke-17 dengan nilai
2,66 miliar dollar AS atau 1,03 persen dari total ekspor China yang mencapai
nilai 258,21 miliar dollar AS. Indonesia juga menjadi negara asal impor ke-17
bagi China dengan nilai ekspor 3,44 miliar dollar AS (Osa, 2004).
Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan tampak
bahwa barang-barang produksi Cina terlihat di mana-mana. Kita tidak menutup
mata bahwa banyak produk dari negeri panda tersebut yang masuk secara ilegal ke
Indonesia sehingga tidak ikut tercatat secara resmi dalam laporan tersebut.
Namun penjelasan dari Ketua Umum Kadin Indonesia Komite Cina, Sharif Cicip
Sutardjo sangat masuk akal. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Sinar
Harapan dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke Cina memang besar namun sebagian
besar merupakan bahan mentah dengan jumlah item yang sangat sedikit, kurang
lebih hanya 15 item seperti migas, CPO, karet, kayu, dan lain-lain. Sedangkan
dari Cina kita mengimpor ratusan item, mulai dari ampas, hasil pertanian,
peralatan sampai ke motor dan mobil. Sebagian besar perusahaan yang
menghasilkan produk-produk itu semua di Cina hanyalah industri swasta, UKM atau
TVEs (www.sinarharapan.co.id/ ekonomi/industri/2003/1224/ind2.html).
Kenyataan ini sungguh berkebalikan dengan
keadaan UKM kita yang kurang diberdayakan padahal memiliki potensi yang sangat
besar. Jumlah UKM mencakup 99 % dari total seluruh industri di Indonesia dan
menyerap sekitar 56 % dari jumlah total seluruh pekerja Indonesia (Rochman,
2003). Untuk itu sangat perlu kita lihat upaya apa saja yang telah dilakukan
oleh pemerintah Cina untuk memajukan industri swasta khusunya UKM, mengingat
UKM kita juga sebenarnya punya kemampuan. Hal ini terbukti pada saat krisis
moneter justru sektor UKM yang mampu bertahan.
Usaha Pemerintah Cina yang Dirintis Sejak Lama
Apa yang sekarang Cina nikmati dari industrinya
terutama TVEs merupakan hasil usaha bertahun-tahun. Pada tahun 1986 dipimpin oleh
State Science and Technology Commission (SSTC) Cina memperkenalkan Torch
Program yang bertujuan untuk mengembangkan penemuan-penemuan dan
penelitian-penelitian oleh universitas dan lembaga riset pemerintah untuk
keperluan komersialisasi. Hasil yang diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan
membuat New Technology Enterprises (NTEs). Selanjutnya SSTC mengembangkan 52
high-tchnology zones yang serupa dengan research park di Amerika dengan bertumpu
pada NTEs tadi (Mufson, 1998). Walaupun NTEs ini bersifat perusahaan bersakala
besar namun kedepannya memiliki peran sebagai basis dalam pengembangan
teknologi untuk industri-industri kecil dan menengah.
Pemerintah
Cina kemudian masih dengan SSTC mengeluarkan kebijakan untuk mendukung TVEs
yang disebut sebagai The Spark Plan. Kebijakan ini terdiri dari 3 kegiatan
utama yang berangkaian. Pertama, memberikan pelatihan bagi 200.000 pemuda desa
setiap tahunnya berupa satu atau dua teknik yang dapat diterapkan di daerahnya.
Kegiatan kedua dilakukan dengan lembaga riset di tingkat pusat dan tingkat
provinsi guna membangun peralatan teknologi yang siap pakai di pedesaan. Dan
yang ketiga adalah dengan mendirikan 500 TVEs yang berkualitas sebagai pilot
project (Pamuji, 2004).
Pemerintah
Cina juga berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala
kebutuhan yang diperlukan oleh industri. Mulai dari hal yang paling essensial
dalam memulai sebuah usaha yaitu birokrasi perizinan yang mudah dan cepat,
dimana dalam sebuah artikel dikatakan bahwa untuk memulai usaha di Cina hanya
membutuhkan waktu tunggu selama 40 hari, bandingkan dengan Indonesia yang
membutuhkan waktu 151 hari untuk mengurus perizinan usaha
(www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/eko07.htm).
Tidak
ketinggalan infrastruktur penunjang untuk memacu ekspor yang disiapkan oleh
pemerintah Cina secara serius. Bila pada tahun 1978 total
panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, maka pada tahun 2002 meningkat
tajam menjadi 170.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini Cina memiliki
3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas
10.000 MT. Sementara untuk keperluan tenaga listrik pada tahun 2001 saja Cina
telah mampu menyediakan sebesar 14,78 triliun kwh, dan saat ini telah dilakukan
persiapan untuk membangun PLTA terbesar di dunia yang direncanakan sudah dapat
digunakan pada tahun 2009 (Wangsa, 2005).
SDM Terbaik Sebagai Pengusaha
Dalam hal SDM untuk dunia usaha Cina juga tidak
tanggung-tanggung dalam mengarahkan orang-orang terbaiknya untuk menjadi
pengusaha yang handal. Sejak tahun 1990-an, Cina telah mengirimkan ribuan
tenaga mudanya yang terbaik untuk belajar ke beberapa universitas terbaik di
Amerika Serikat, seperti Harvard, Stanford, dan MIT. Di Harvard saja, Cina
telah mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk mempelajari sistem ekonomi terbuka
dan kebijakan pemerintahan barat, walaupun Cina masih menerapkan sistim ekonomi
yang relatif tertutup. Sebagai
hasilnya, Cina saat ini telah memiliki jaringan perdagangan yang sangat mantap
dengan Amerika, bahkan memperoleh status sebagai The Most Prefered Trading
Partner (Kardono, 2001).
Pemerintah
Cina juga membujuk para overseas Chinese scholars and professionals, terutama
yang sedang dan pernah bekerja di pusat-pusat riset dan MNCs di bidang
teknologi di seluruh penjuru dunia untuk mau pulang kampung dan membuka
perusahaan baru di Cina. Mantan-mantan tenaga ahli dari Silicon Valley dan IBM
ini misalnya, diharapkan nantinya juga akan dapat mempermudah pembukaan
jaringan usaha dengan MNCs ex-employer lainnya yang tersebar di seluruh dunia
(www.mail-archive.com/bhtv @paume.itb.ac.id/msg00042.html). Tentu saja bujukan
itu dilakukan dengan iming-iming kemudahan dan fasilitas untuk memulai usaha,
seperti insentif pajak, kemudahan dalam perizinan, dan suntikan modal.
Indonesia Harus Bisa Mengambil Pelajaran dari
Cina
Kita sebaiknya bisa belajar dari kesuksesan Cina
mengembangkan dunia usaha dan industrinya. Hal ini jauh lebih baik ketimbang
hanya menggerutu melihat produk-produk Cina yang membanjiri pasar dalam negeri.
Merajalelanya produk-produk Cina dengan harga yang murah dan berkualitas harus
dilihat tidak hanya sebagai ancaman, namun juga sebagai pemicu agar Indonesia
bisa bergerak ke arah perbaikan. Pada kesempatan ini penulis dengan
keterbatasan kapasitas yang dimiliki akan mencoba merumuskan beberapa masukan
berupa langkah yang sebaiknya kita tempuh berkaitan dengan apa yang telah
dilakukan dan diraih oleh Cina.
Pertama, yaitu kita harus mencoba mengkaji
kebijakan-kebijakan Cina dalam perekonomian khususnya dalam memajukan dunia
usahanya. Setelah
itu dirumuskan manakah yang bisa dan tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal
ini mengingat keadaan , latar belakang, dan budaya Cina yang tidak sama dengan
Indonesia.
Langkah
kedua yang bisa ditempuh adalah dengan mempererat hubungan kerja sama dengan
Cina, tidak saja dalam ekonomi namun juga pada bidang-bidang lainnya yang
dianggap penting. Dalam bidang ekonomi dan keamanan misalnya dengan membuat
nota kesepahaman tentang kerjasama dalam penanganan penyelundupan di kedua
negara. Bentuk kerjasama yang lain misalnya adalah dengan melakukan sinergi
industri antara kedua negara. Seperti yang sudah berjalan pada industri lilin
antara Indonesia dan Cina, dimana terdapat kesepakatn tidak tertulis dalam
pembagian fokus industri, dengan pembagian industri hulu dan menegah yang
ditangani Indonesia sedangkan hilir dipegang oleh Cina.
Ketiga,
adalah dengan menciptakan budaya wirausaha di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan
dengan meniru langkah pemerintah Cina dengan kebijakan-kebijakannya dalam
merangsang munculnya para pengusaha-pengusaha baru. Akan tetapi apabila dilihat
lebih cermat, sebenarnya yang menjadi masalah utama di Indonesia terletak pada
paradigma berpikir masyarakatnya. Di Indonesia hampir tidak ada kita kita lihat
keinginan yang besar dari kalangan terdidik untuk menjadi pengusaha.
Penyebabnya
bisa jadi karena malas dan takut mengambil resiko untuk berjuang dari nol
apabila menjadi pengusaha. Masyarakat kita juga pada umumnya menaruh simpati
yang lebih besar pada profesi-profesi yang secara praktis terlihat ekslusif,
seperti dokter, akuntan, dan pengacara dibanding dengan wirausaha. Keadaan ini
lebih diperburuk dengan sistem pendidikan kita yang cenderung mengabaikan
pelajaran tentang kewirausahaan dan kepemimpinan. Hal ini sangat berkebalikan
dengan budaya wirausaha yang sangat kental dari penduduk Cina.Langkah keempat
adalah dengan memaksimalkan peran akademisi yaitu peneliti untuk menunjang
dunia usaha. Selama ini diantara banyak kendala dunia usaha kita terutama UKM,
yang paling besar adalah dari sisi teknologi dan metode yang tidak efisien dan
jauh tertinggal dari pesaingnya di luar negeri. Untuk itu
kiranya para peneliti mau turun dari menara gading untuk mau membantu
penelitian industri-industri di Indonesia. Sudah saatnya penelitian yang
dilakukan bisa lebih membumi sehingga dapat juga dinikmati oleh
industri-industri kecil dan menengah.
Faktor
makanan
Ikan
merupakan makanan bagi orang China. Sebagaimana kita ketahui bahwa di dalam
ikan terdapat unsur-unsur yang sangat membantu kerja otak diantaranya adalah
protein. Cara penyajiannya pun tidak dengan dimasak matang. Ikan yang sudah
ditangkap hanya diberikan bumbu yang ditaburkan di sisi ikan tersebut. Sehingga
kandungan protein di dalam ikan tersebut tidak hilang. Selain ikan, masyarakat
China juga banyak menghidangkan sayuran hijau. Dengan keduanya menjadikan
rakyat China mempunyai otak yang cemerlang.
Faktor
Pendidikan
Ketika
seorang anak tumbuh dewasa, seorang ayah akan mengambil keputusan pakah anak
tersebut mengenyam pendidikan atau hanya menjadi penjaga gudang? Hal ini
ditentukan dari bakat sang anak. Jika anak lebih condong ke pendidikan maka
sang ayah tidak segan-segan untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang sekolah
tinggi. Namun jika sang anak tidak tampak dalam dirinya untuk sekolah maka sang
ayah akan menempatkan ia menjadi penjaga gudang saja. Kurang lebih begitulah
cara orang China mendidik anak.
Lebih
mulia jadi pedagang (dari pada jadi karyawan)
Orang
China percaya bahwa hanya dengan berdaganglah mereka dapat menjadi kaya dan
meningkatkan taraf hidup mereka. Dunia dagang adalah dunia yang menjanjikan
kesenangan, kemewahan dan kebahagiaan. Kalau dulu ajaran Konfisianisme
menganggap bahwa golongan pedagang menindas dengan mengambil keuntungan
berlebih sehingga tidak begitu dihormati, maka ajaran tersebut ditafsirkan
kembali dan malah memberi semangat bagi orang Tionghoa agar melibatkan diri
dalam perdagangan. Menurut Ann Wang Seng, kedudukan sebagai pedagang dilihat lebih
tinggi daripada pegawai, meskipun gajinya lebih besar. Berdagang sendiri
berarti sesorang dapat menjadi bos dan tuan. Orang yang berdagang juga
dikatakan berani dan hanya orang yang berani yang memiliki kesempatan menjadi
kaya dan sukses.
Kerja
keras, kerja keras dan kerja keras (kerja efektif)
Kalau
dibilang nothing can replace hardwork itu memang ada benarnya. Salah satu resep
keberhasilan dagang orang China adalah kerja keras. Kebanyakan jam kerja mereka
lebih panjang dari orang lain. Walaupun sudah berhasil, mereka juga tetap
bekerja antara 16-18 jam sehari. Banyak pengusaha sukses dapat lahir tanpa
bekal apapun, kecuali semangat, keyakinan dan usaha yang tidak mengenal kata
jemu. Orang China percaya bahwa hanya dengan bekerja keras dan berani membuka
peluang, mereka akan berhasil.
Risk
taker (OINK! luv it)
Selain
daya juang dan semangat yang tinggi, hal menonjol lainnya adalah sikap risk
taking. Bagi orang China, pedagang sejati dan pandai adalah yang menyukai
risiko dan tantangan. Semakin tinggi risiko, makin banyak peluang yang
tersedia. Selain itu, masalah juga harus dijadikan batu loncatan, bukannya
penghalang untuk berhasil.
Pintar
melihat peluang (Buka mata, liat sekeliling)
Ada
sebuah pepatah yang mengatakan, ’tinggalkan orang China di mana saja, mereka
akan dapat hidup dan menciptakan peluang dagang. Orang China adalah bangsa yang
paling fleksibel, mudah berubah dan menyesuaikan diri di manapun. Mereka akan
dapat hidup dan mencari makan di manapun mereka berada. Orang China mudah
beradaptasi untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim ekonomi dan perilaku
pasar. Tak heran, banyak peluang bisnis yang mereka ciptakan dari bisnis yang
awalnya dianggap tidak menguntungkan, seperti menjual air di pinggir jalan,
berjualan surat kabar lama, kaleng kosong dan lain sebagainya.
Mulai
dengan usaha ritel (Suatu hal tak kan ada seblum dicoba)
Dasar
perdagangan orang China adalah toko ritel. Mereka belajar mengurus dan
mengendalikan urusan jual beli melalui perdagangan toko ritel. Menguasai toko
ritel berarti akan menguasai pasar, dan kemudian menjadi penentu bagi kegiatan
ekonomi secara keseluruhan. Tidak heran jika mereka menguasai bukan saja urusan
jual beli, namun juga pengeluaran, pemasaran, distribusi, promosi sampai
menentukan laku atau tidaknya produk itu.
Jaringan
yang solid (Koneksi di banyakin fren)
Kalau selama ini kita lihat jaringan bisnis
China sangat kuat di antara sesama mereka, itu karena konsep bisnis mereka.
Mereka menganggap bahwa setiap pedagang saling melengkapi. Misalnya, restoran
akan mengambil suplai bahan makanannya dari toko-toko makanan yang berada di
sekitarnya. Dengan demikian, perdagangan di kawasan itu akan berkembang pesat
karena sudah terwujud sikap saling membantu dan saling dukung yang kuat di
kalangan pedagang. Bagi orang Tionghoa, kegiatan perdagangan perlu diperbanyak
ragam dan jenisnya karena selain dapat memberikan pilihan kepada pembeli, hal
ini juga dapat membantu pedagang lain mendapatkan penghasilan. Etika yang tidak
tertulis ini memungkinkan para pedagang Tionghoa dapat hidup di satu kawasan
dan menguasai pasar.
Sedekah
Agar keuntungan terus bertambah, sebagian
keuntungan harus dialokasikan bagi mereka yang membutuhkan. Orang memercayai
bahwa derma yang disalurkan kepada orang miskin, institusi pendidikan,
organisasi sosial, panti jompo, golongan cacat dan pelajar-pelajar yang tidak
mampu bukan saja suatu hal yang baik, namun juga akan mendapat berkah. Keuntungan berderma mungkin bukan
dalam bentuk materi, melainkan nama baik, dan budi pekerti yang senantiasa akan
dikenang.
Dalam
budaya Cina, orang Cina melakukan tirakat dengan makan bubur sebelum sukses.
Dalam ilmunya R.Kiyosaki, kita tidak boleh tergoda untuk memiliki Liabilitas,
sebelum Asset kita benar-benar bekerja menghasilkan kekayaan bagi kita.
Alhasil, China berhasil dengan adanya usaha yang
keras dari diri pribadi. Sehingga China bisa menjadi negara yang sukses dan
berkembang. Maka benarlah apa-apa yang dikatakan oleh Nabi SAW “tuntutlah ilmu
walau sampai di negeri China”, semua itu terbukti dengan kesuksesan China pada
zaman dahulu hingga sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar