- Pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram , yaitu uang dimaksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana , dengan cara antara lain dan terutama memasukan uang tersebut kedalam keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari system keuangan itu sebagai uang yang halal
Tahap-tahap
proses pencucian uang :
- Placement : Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam system keuangan (financial system). Pada tahap placement tersebut, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misal, hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uang-uang kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari narkobanya, lalu dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar. Lalu di depositokan kedalam rekerning bank, dan dibelikan ke instrument-instrumen moneter seperti cheques, money orders dll
- Layering : Layering atau heavy soaping, dalam tahap ini pencuci berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya, dengan cara memindahkan uang tersebut dari satu bank ke bank lain, hingga beberapa kali. Dengan cara memecah-mecah jumlahnya, dana tersebut dapat disalurkan melalui pembelian dan penjualan investment instrument Mengirimkan dari perusahaan gadungan yang satu ke perusahaan gadungan yang lain. Para pencuci uang juga melakukan dengan mendirikan perusahaan fiktip, bisa membeli efek-efek atau alalt-alat transfortasi seperti pesawat, alat-alat berat dengan atas nama orang lain.
- Integration : Integration adakalanya disebut spin dry dimana Uang dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan bersih bahkan merupakan objek pajak dengan menggunakan uang yang telah menjadi halal untuk kegiatan bisnis melalui cara dengan menginvestasikan dana tersebut kedalam real estate, barang mewah, perusahaan-perusahaan
BEBERAPA
MODUS MONEY LAUNDERING
- Loan Back, yakni dengan cara meminjam uangnya sendiri, Modus ini terinci lagi dalam bentuk direct loan, dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, semacam perusahaan bayangan (immobilen investment company) yang direksinya dan pemegang sahamnya adalah dia sendiri, Dalam bentuk back to loan, dimana si pelaku peminjam uang dari cabang bank asing secara stand by letter of credit atau certificate of deposit bahwa uang didapat atas dasar uang dari kejahatan, pinjaman itu kemudian tidak dikembalikan sehingga jaminan bank dicairkan.
- Modus operasi C-Chase, metode ini cukup rumit karena memiliki sifat liku-liku sebagai cara untuk menghapus jejak. Contoh dalam kasus BCCI, dimana kurir-kurir datang ke bank Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000 supaya lolos dari kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni New York ke Luxsemburg ke cabang bank Inggris, lalu disana dikonfersi dalam bentuk certiface of deposit untuk menjamin loan dalam jumlah yang sama yang diambil oleh orang Florida. Loan buat negara karibia yang terkenal dengan tax Heavennya. Disini Loan itu tidak pernah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Dari Floria, uang terebut di transfer ke Uruguay melalui rekening drug dealer dan disana uang itu didistribusikan menurut keperluan dan bisnis yang serba gelap. Hasil investasi ini dapat tercuci dan aman.
- Modus transaksi transaksi dagang internasional, Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena menjadi fokus urusan bank baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenal keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi sasaran money laundrying, berupa membuat invoice yang besar terhadap barang yang kecil atau malahan barang itu tidak ada.
- Modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank paralel ke Negara lain. Modus ini menyelundupkan sejumah fisik uang itu ke luar negeri. Berhubung dengan cara ini terdapat resiko seperti dirampok, hilang atau tertangkap maka digunakan modus berupa electronic transfer, yakni mentransfer dari satu Negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu.
- Modus akuisisi, yang diakui sisi adalah perusahaanya sendiri.Contoh seorang pemilik perusahaan di indonesia yang memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax haven. Hasil usaha di cayman didepositokan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini pemilik perusahaan di Indonesia memliki dana yang sah, karena telah tercuci melalui hasil pejualan saham-sahamnya di perusahaan Indonesia.
- Modus Real estate Carousel, yakni dengan menjual suatu property berkai-kali kepada perusahaan di dalam kelompok yang sama. Pelaku Money Laundrying memiliki sejumlah perusahaan (pemegang saham mayoritas) dalam bentuk real estate. Dari satu ke lain perusahaan.
- Modus Investasi Tertentu, Investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang atau lukisan atau antik. Misalnya pelaku membeli barang lukisa dan kemudian menjualnya kepada seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga mahal. Lukisan dengan harga tak terukur, dapat ditetapkan harga setinggitingginya dan bersifat sah. Dana hasil penjualan lukisan tersebut dapat dikategorikan sebagai dana yang sudah sah.
- Modus over invoices atau double invoice. Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor-impor negara sendiri, lalu diluar negeri (yang bersistem tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di Negara tax Haven ini mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada d diluar negeri itu membuat invoice pembelian dengan harga tingi inilah yang disebut over invoice dan bila dibuat 2 invoices, maka disebut double invoices.
- Modus Perdagangan Saham, Modus ini pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di Busra efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini menjadi pelaku pencucian uang. Artinya dana dari nasabahnya yang diinvestasi ini bersumber dari uang gelap. Nussre brink membuat 2 (dua) buah rekening bagi nasabah-nasabah tersebut, yang satu untuk nasabah yag rugi dan satu yang memiliki keuntungan. Rekening di upayakan dibuka di tempat yang sangat terjamin proteksi kerahasaannya, supaya sulit ditelusuri siapa benefecial owner dari rekening tersebut.
- Modus Pizza Cinnction. Modus ini dilakukan dengan mnginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan untuk mendapat konsesi pizza, sementara sisi lainnya diinvestasikan di Karibia dan Swiss.
- Modus la Mina, kasus yang dipandang sebagai modus dalam money laundrying terjadi di Amerika Serikat tahun 1990. dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada perdagangan grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat. Kemudian emas, kemudian batangan diekspor dari Uruguay dengan maksud supaya impornya bersifat legal. Uang disimpan dalam desain kotak kemasan emas, kemudian dikirim kepada pedagang perhiasan yang bersindikat mafia obat bius. Penjualan dilakukan di Los Angeles, hasil uang tunai dibawa ke bank dengan maksud supaya seakan-akan berasal dari kota ini dikirim ke bank New York dan dari kota ini di kirim ke bank New York dan dari kota ini dikirim ke bank Eropa melalui Negara Panama. Uang tersebut akhirnya sampai di Kolombia guna didistribusi dalam berupa membayar onkosongkos, untuk investasi perdagangan obat bius, tetapi sebagian untuk unvestasi jangka panjang.
- Modus Deposit taking, Mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit taking Institution (DTI) Canada. DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uangnya seperti chartered bank, trust company dan credit union. Kasus Money Laundrying ini melibatkan DTI antara lain transfer melalui telex, surat berharga, penukaran valuta asing, pembelian obligasi pemerintahan dan teasury bills.
- Modus Identitas Palsu, Yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang dengan cara mendepositokan dengan nama palsu, menggunakan safe deposit box untuk menyembunyikan hasil kejahatan, menyediakan fasilatas transfer supaya dengan mudah ditransfer ke tempat yang dikehendaki atau menggunakan elektronic fund transfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap, menyimpan atau mendistribusikan hasil transaksi gelap itu.
MODUS DAN MISTERI PENEMPATAN DANA ( PLACEMENT )
Apa
dan bagaimana kebijakan penempatan dana ? Seandainya
Anda seorang Direktur Investasi dari Dana Pensiun atau Jamsostek atau BUMN.
Atau yang lebih sederhana, apabila Anda seorang Direktur Utama (CEO) suatu
perusahaan besar, yang mempunyai manajer treasury tersendiri
atau dalam kalangan perbankan disebut nasabah korporasi, bagaimana Anda akan
menempatkan dana yang idle ?
Bagi
orang-orang yang bersifat konservatif , maka penempatan dana umumnya dilakukan
di deposito. Mengapa? Karena bunga cukup tinggi,
pendapatan TETAP, risiko rendah. Dulu bahkan bunga Deposito pada
tahun 2001 mencapai 17% per annum. Saat ini bunga deposito bergerak turun,
hal ini mencerminkan kondisi perbankan di Indonesia telah membaik. Mungkin bagi
manajer investasi di Dana Pensiun atau Jamsostek, wajar harus menghitung ulang
investasinya, karena mereka bertanggung jawab agar hasil bunga/keuntungan
penempatan dana dapat mencukupi pembayaran para pensiunan. Jika bunga deposito
melorot terus, maka bisa-bisa uang untuk membayar para pensiunan tidak akan
mencukupi. Sehingga penempatan dana pun beralih kepada Obligasi atau ke
reksadana, namun walau suku bunga deposito dibawah 7% per annum, ada upaya
penempatan dana dengan negosiasi special rate atau Extra rate bahkan
plus premium.
Pada
saat ini nasabah korporasi masih menjadi andalan bagi unit corporate banking.
Kerjasama saling menguntungkan antar korporasi ini diduga dilakukan melalui
kedekatan personal. Banyak bank yang mempraktekkan corporate banking dengan
modal kenalan atau kedekatan CEO si pembuat kebijakan korporasi. Negosiasi
penempatan dana dan rate serta kompensasi sudah menjadi wewenang dan keputusan
CEO. Tapi, apa yang terjadi jika sewaktu-waktu dana korporasi itu dinyatakan
hilang atau dibobol? Rahasia dibalik hubungan baik dalam penempatan dana itu
akan menjadi masalah ketika dana korporasi itu dinyatakan hilang atau dibobol
penjahat perbankan. Hilangnya dana korporasi di bank tidak jarang menyeret
aparat kepolisian untuk melacak sebab akibatnya. Bahkan tidak jarang, raibnya
dana korporasi tersebut melibatkan nasabah dan pegawai bank itu sendiri.
Apalagi kalau ternyata ditemukan motivasi penempatan dana itu karena adanya
imbal balik fee dan kedekatan diantara CEO. Bukan tidak mungkin diantara CEO
tersebut malah diduga terlibat dalam penggelapan dana korporasi. Kejahatan
perbankan nasional masih relatif konvensional, seperti perampokan, pemalsuan
dokumen seperti L/C, bilyet deposito, cheque, bahkan pembobolan rekening
nasabah oleh oknum dalam bank dan kolusi antara orang dalam dan luar
bank .Lalu kenapa kenapa penempatan dana sangat dekat kaitannya
dengan pembobolan bank, jawabannya karena setiap dana nasabah yang hilang
biasanya Bank akan menggantinya ? Apakah ini sebuah permainan ? Ini masih
merupakan misteri penempatan dana ???!!!!!!
PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Sekian banyak para
cendekia dan pengamat memandang bahwa persoalan penegakan hukum khususnya dalam
penanganan perkara yang lemah menjadi penyebab utama keterpurukan negara
Indonesia dewasa ini. Hal ini tidak dapat dipungkiri apabila melihat fenomena
yang terjadi seperti isu penanganan perkara yang bersifat tebang pilih,
kurangnya political will dan moral hazard dari pemegang
kekuasaan serta belum harmonisasinya seluruh ketentuan perundang-undangan yang
ada. Lebih dari itu, maka mudah ditebak bahwa akhir dari penegakan hukum tidak
mencerminkan rasa keadilan masyarakat.Dampak dari semua itu tentu membawa
keterpurukan negara yang berkepanjangan dalam berbagai segi, diantaranya
rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya pengangguran, dan kemiskinan
yang pada akhirnya memicu peningkatan angka kriminalitas. Di samping itu, dapak
lainnya antara lain adalah relatifnya rendahnya tingkat kompetisi perdagangan,
dan kurangnya insentif yang menyebabkan iklim berusaha tidak dapat
berjalan secara kondusif.
Dari sisi penegakan
hukum, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk pencegahan dan
pemberantasan berbagai tindak pidana, seperti tindak pidana korupsi. Berbagai
upaya tersebut antara lain penerbitan Keppres No.228/1967, pembentukan TGTPK
dan KPKPN dan terakhir adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun demikian, dengan upaya ini belum dapat dikatakan kita telah berhasil
mengatasi permasalahan penegakan hukum, tercermin dari publikasi yang memuat
pemeringkatan negara terkorup yang dikeluarkan oleh Transparancy
International dan PERC (Political and Economic Research Consulting)
yang selalu menempatkan Indonesai dalam posisi terburuk[1].
Sementara itu, Country
Manager International Finance Corporation (IFC), German Vegarra dalam
laporan Doing Business in 2006 yang disusun International Finance
Corporation (IFC) dan Bank Dunia (World Bank) menyatakan bahwa
dari hasil survey kemudahan berbisnis di 166 negara, Indonesia menduduki
peringkat bawah. Survei yang dilakukan mencakup tujuh paket indikator iklim
bisnis, yaitu memulai bisnis, mempekerjakan, menghentikan pegawai,
menetapkan kontrak kerja, mendaftarkan property, memperoleh kredit, melindungi
investor dan menutup usaha. Di samping itu, indikator lain adalah pembayaran
pajak, lisensi usaha dan perdagangan antar batas Negara. Hal-hal yang
melemahkan posisi Indonesia (tahun lalu Indonesia masuk urutan 115 negara dari
145 negara) adalah tingkat kesadaran membayar pajak, dan jumlah hari
serta prosedur untuk menetapkan kontrak cukup lama, yaitu 570 hari dengan 34
prosedur (sementara Malaysia hanya 300 hari dan 31 prosedur, dan Singapura
hanya 69 hari dengan 23 prosedur)[2].
Apa yang telah
dilakukan di atas masih terbatas dalam lingkup korupsi dan belum menyentuh
tindak pidana lain khususnya tindak pidana yang menghasilkan uang atau harta
kekayaan seperti penyuapan, penyelundupan, perbankan, pasar modal, dan lainnya,
baik yang melibatkan sektor pemerintahan maupun swasta. Diakui atau tidak bahwa
dalam pemberantasan tindak pidana selama ini menghadapi kendala baik teknis
maupun non teknis. Pendekatan dalam pemberantasan tindak pidana – tindak pidana
selama ini lebih menitikberatkan bagaimana menjerat pelaku tindak pidana dengan
mengidentifikasi perbuatan pidana yang dilakukan. Sejak April 2002 telah
diperkenalkan sistem penegakan hukum yang relatif baru sebagai salah satu
alternatif dalam memecahkan persoalan di atas bukan hanya karena metode yang
digunakan berbeda dengan penegakan hukum secara konvensional tetapi juga
memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya. Sistem dimaksud adalah rezim
anti pencucian uang, dimana pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak
pidana lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the
money trial) atau transaksi keuangan. Pendekatan ini tidak terlepas dari
suatu pendapat bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life
blood of the crime”, artinya merupakan darah yang menghidupi tindak
kejahatan sekaligus titik terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah
dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan
juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena tujuan
pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi atau sulit
dilakukan. Makalah ini akan membahas bagaimana penanganan perkara tindak pidana
pencucian uang melalui penerapan Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.25 Tahun
2003 dan peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam
membantu upaya memerangi tindak pidana asal (predicate crime) di Indonesia.
B.
Skema Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia
Sebelum lebih
spesifik membahas bagaiamana penanganan tindak pidana pencucian uang, perlu
terlebih dahulu secara singkat diuraikan mengenai rezim anti pencucian uang di
Indonesia. Rezim anti pencucian uang di Indonesia dibangun dengan
melibatkan berbagai komponen, yaitu :
1.
Sektor keuangan (financial sector) yang terdiri dari pihak pelapor (reporting
parties-penyedia jasa keuangan) dan pengawas & pengatur industri keuangan.
Walaupun tidak termasuk dalam sistem keuangan dan pihak pelapor, Ditjen Bea dan
Cukai dapat dikelompokkan dalam sektor ini karena berperan dalam menyampaikan
laporan kepada PPATK. Namun apabila dilihat dari kewenangannya, dapat juga
Ditjen Bea dan Cukai dimasukkan dalam sector law enforcement.
2.
PPATK sebagai intermediator (penghubung) antara financial sector
dan law enforcement/judicial sector. Dalam kedudukan ini, PPATK berada di
tengah-tengah antara sektor keuangan dan sector penegakan hukum untuk melakukan
seleksi melalui kegiatan analisis terhadap laporan (informasi) yang diterima,
yang hasil analisisnya untuk diteruskan kepada penegak hokum. Dalam
kegiatan analisis tersebut, PPATK menggali informasi keuangan dari berbagai
sumber baik dari instansi dalam negeri maupun luar negeri.
3.
Sektor penegakan hukum (law enforcement/judicial sector) yaitu Kepolisian,
Kejaksaan dan Peradilan. Hasil analisis yang diterima dari PPATK, inilah yang
menjadi dasar dari penegak hokum untuk diproses sesuai hokum acara yang
berlaku.
Di samping itu,
terdapat pihak lain yang mendukungnya yaitu Presiden, DPR, Komite Koordinasi
TPPU, Publik, lembaga internasional dan instansi terkait dalam negeri seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai, Departemen Kehutanan dan
sebagainya.
Di bawah ini
diuaraikan secara singkat peran, tugas dan tanggung jawab setiap komponen
tersebut.
1. Pihak
Pelapor atau Penyedia Jasa Keuangan (Reporting Parties)UU TPPU mendefinisikan
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang
keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak
terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana,
kustodion, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta
asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.PJK memiliki kewajiban menyampaikan kepada PPATK berupa Laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai
(LTKT) sebagaimana diatur dalam pasal 13 UU TPPU. 2.
Pengawas dan Pengatur Industri Keuangana. Bank
Indonesia
Bank Indonesia adalah bank sentral
yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia. Sesuai UU tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas
dan tanggung jawab utama menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Untuk
mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan
kebijakan moneter, memelihara dan mengatur system pembayaran dan mengatur serta
mengawasi bank. Dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan bank,
sesuai UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10 tahun 1998 Bank
Indonesia memiliki kewenangan memberikan izin, mengatur, mengawasi dan
memberikan sanksi terhadap bank (Bank Umum dan BPR).
Sebagai
otoritas pengawas bank, Bank Indonesia bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan
anti-money laundering (AML) policy, termasuk didalamnya adalah
pelaksanaan KYC principles.
b. BAPEPAM (Capital Market Supervisory Agency) – Lembaga
KeuanganPedoman, pengaturan dan pengawasan terhadap pasar modal dan lembaga
keuangan non bank menjadi tanggung jawab BAPEPAM – Lembaga Keuangan agar
kegiatan pasar modal dan lembaga keuangan dilaksanakan secara fair dan efisien
serta dapat melindungi kepentingan investor dan public sebagaimana diatur dalam
UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk kegiatan pasar modal dan
peraturan perundang-undangan lain untuk kegiatan lembaga keuangan non
bank. Di samping itu, sebagai regulator Bapepam- Lembaga Keuangan juga
turut berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan KYC Principles bagi industri
pasar modal dan lembaga keuangan. 2. Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi keuangan (PPATK)PPATK adalah lembaga independen, bertanggung jawab
langsung kepada Presiden yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang sesuai dengan UU TPPU. PPATK merupakan lembaga intelijen di
bidang keuangan (financial intelligence unit-FIU) yang dipimpin oleh
seorang Kepala dan dibantu oleh 4 Wakil Kepala. Dalam Pasal 26, PPATK antara
lain bertugas mengumpulkan informasi, melakukan analisis dan mengevaluasi
informasi. Dalam pengumpulan informasi, disamping menerima laporan transaksi
keuangan mencurigakan dan laporan transaksi keuangan tunai, PPATK juga menerima
dari Ditjen Bea dan Cukai berupa laporan pembawaan uang tunai keluar masuk
wilayah pabean Republik Indonesia senilai Rp 100 juta atau lebih. Apabila dari
hasil analisis terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang, maka hasil
analisis tersebut disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. 3. Aparat
Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan)Berdasarkan laporan hasil
analisis PPATK, Kepolisian selaku penyidik melakukan penyelidikan dan
penyidikan untuk membuat terang suatu kasus dengan mencari bukti untuk
menentukan apakah terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang atau tidak.
Apabila dalam penyidikan diperoleh bukti yang cukup, selanjutnya berkas perkara
diteruskan kepada Kejaksaan untuk pembuatan dakwaan atau tuntutan dalam sidang
pengadilan.4. Presiden, DPR, Publik dan Komite Koordinasi TPPUDi
samping DPR, setiap 6 bulan sekali Presiden menerima laporan kinerja pembangunan
rezim anti pencucian uang dari PPATK. Laporan ini akan digunakan oleh
Pemerintah dan DPR dalam mengevaluasi pembangunan rezim anti pencucian uang
guna menetapkan kebijakan umum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang. Sementara itu, laporan kinerja PPATK khususnya dan
pembangunan rezim anti pencucian uang pada umumnya juga dilaporkan ke publik
dalam rangka transparansi dan akuntabilitas PPATK. Mengingat badan pelaksana (implementing
agency) pembangunan rezim anti pencucian uang cukup banyak, diperlukan
koordinasi yang efektif dan berkesinambungan. Oleh karena itu, melalui
Keputusan Presiden No.1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004 dibentuk Komite
Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, yang diketuai oleh Menko Polhukkam, Wakil Ketua Menko Perekonomian,
sekeretaris Kepala PPATK, dan beranggotakan 17 pimpinan instansi terkait. C.
Pengertian dan Pola Tindak Pidana Pencucian Uang serta Hubungannya dengan
Tindak Pidana Asal1. Pengertian
Pencucian uang secara umum merupakan suatu cara menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana sehingga
nampak seolah-olah harta kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut sebagai
hasil kegiatan yang sah. Lebih rinci di dalam Pasal 1 angka 1 UU TPPU,
pencucian uang didefinisikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah
menjadi harta kekayaan yang sah. UU TPPU telah membatasi bahwa hanya harta
kekayaan yang diperoleh dari 24 jenis tindak pidana dan tindak pidana lainnya
yang diancam dengan hukuman 4 tahun penjara atau lebih sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2, yang dapat dijerat dengan sanksi pidana pencucian uang
sebagaimana diatur dalam pasal 3 dan Pasal 6. 2. Pola tindak
pidana pencucian uang
Modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan
menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup complicated.
Secara sederhana, kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola
kegiatan, yakni : placement, layering dan integration.
Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu
aktifitas kejahatan ke dalam system keuangan. Dalam hal ini terdapat
pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan, baik melalui penyeludupan uang
tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang
berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah,
ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil
ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya
saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer
uang kedalam valuta
asing. Layering,
diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas
kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal
ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu
sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang
kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram”
tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke
rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan
rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya
memerangi kegiatan pencucian
uang. Integration,
yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate
explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci’ melalui
placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga
tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang
menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci
dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan
hukum. 3. Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana
lainnyaHubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal
(predicate crime) dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) huruf a bahwa hasil
tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang
dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia. Sehingga tepat sekali pendapat bahwa tidak akan ada
money laundering kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta
kekayaan (“no crime no money laundering”). Sesuai dengan Pasal 1 UUTPPU yang
telah diuraikan di atas, semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil
kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang.Di
lain pihak, pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang beridiri sendiri
(independent crime) karena delik pidana pencucian uang telah dirumuskan secara
mandiri sesuai Pasal 3 dan 6 UU TPPU. Proses tindak pidana pencucian uang tidak
harus menunggu adanya putusan pidana atas tindak pidana asal (predicate crime).
Hal ini tepat sekali karena memang di dalam Pasal 3 dan 6 UUTPPU, perumusannya
“harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari
hasil kejahatan” dan bukan “harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan”.
Dengan demikian, hanya cukup dengan dugaan bahwa harta kekayaan tersebut
berasal dari hasil tindak pidana maka pidana pencucian uang dapat diterapkan
sepanjang seluruh unsur pidananya dan proses acara pidananya telah terpenuhi
(lihat penjelasan Pasal 3 ayat 1 UUTPPU). D. Mekanisme Penanganan
Perkara Pencucian UangProses penanganan perkara tindak pidana
pencucian uang secara umum tidak ada bedanya dengan penanganan perkara tindak
pidana lainnya. Hanya saja, dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian
uang melibatkan satu institusi yang relatif baru yaitu PPATK. Keterlibatan
PPATK lebih pada pemberian informasi keuangan yang bersifat rahasia (financial
intelligence) kepada penegak hukum terutama kepada penyidik tindak
pidana pencucian uang, yaitu penyidik Polisi. Proses penanganan tersebut adalah
sebagai berikut : 1. Peran Penyedia Jasa Keuangan (PJK),
FIU dan MasyarakatPeran utama PJK, FIU negara lain dan masyarakat dalam
penanganan perkaran pencucian uang adalah memberikan informasi awal. Laporan
dan informasi tersebut adalah :a. Laporan dari PJKSebagaimana
telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa sesuai Pasal 13 UU TPPU, diatur
kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan
Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada
PPATK. Di dalam internal PPATK, laporan-laporan ini diterima oleh Direktorat
Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui
pengecekan kelengkapan laporan dimaksud. Sesuai Pasal 1 angka 7 UUTPPU, LTKM
adalah :- transaksi keuangan
yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari
nasabah yang bersangkutan-
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan
Undang-undang;- transaksi
keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.Apabila PJK mengetahui salah satu
dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan mencurigakan, sudah cukup bagi PJK untuk
menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada
informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi
terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu
transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk
melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana
pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah
satu data pendukungnya adalah LTKT dari PJK.Dalam kaitan ini, maka
didalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang peran PJK sangat
membantu baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun
simpanannya, dan membantu PPATK dan instansi penegak hukum untuk mentrasir
aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum.b.
Laporan dari masyarakatWalaupun UU tidak mengatur kewenangan PPATK
untuk menerima informasi dari masyarakat, namun berbagai informasi adanya
indikasi tindak pidana sering diterima PPATK. Atas informasi ini, Direktorat
Hukum PPATK melakukan analisis untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi
pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Informasi dari masyarakat ini diterima
PPATK melalui surat secara tertulis dan melalui media internet (www.ppatk.go.id
, icon : contuct-us@ppatk.go.id).c.
Informasi dari aparat penegak hukumDalam penanganan suatu perkara
oleh penyidik, seringkali harta kekayaan hasil tindak pidana terindikasi oleh
pelakunya disembunyikan atau disamarkan melalui berbagai perbuatan
khususnyamelalui institusi keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk
deposito, giro atau tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian
polis asuransi; pembelian surat berharga pasar uang dan pasar modal; atau
perbuatan lain seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri.
d. Informasi dari Financial Intelligence Unit negara lainBerdasarkan
hasil analisis PPATK, banyak informasi penting dari FIU negara lain yang
menghasilkan kasus pencucian uang dan kasus pidana lainnya. Informasi ini baik
diminta atau tidak diminta sesuai dengan standar pertukaran informasi dalam
prinsip paguyuban FIU seluruh dunia yang tergabung dalam suatu wadah yang
dikenal dengan Egmont Group. 2. Peran PPATK Menurut
Pasal 26 UU TPPU tugas PPATK antara lain: mengumpulkan, menyimpan,
menganalisis, mengevaluasi laporan dan informasi-informasi di atas. Di samping
itu, PPATK dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil
analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian
uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk
kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan
mengenai kegiatan analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara
berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi
Penyedia Jasa Keuangan (PJK).Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan
informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi
dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MOU dengan PPATK agar hasil
analisis tersebut memeiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan
hukum. Pada dasarnya dalam kegiatan analisis adalah kegiatan untuk
menghubungkan (”association)” antara uang atau harta hasil kejahatan
dengan kejahatan asal melalui identifikasi transaksi-transaksi yang dilakukan,
yang pada akhirnya akan mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat si
penjahat. Proses pendeteksian kegiatan pencucian uang baik pada tahap
placement, layering maupun integration akan menjadi dasar untuk merekontruksi
asosiasi antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat. Apabila
telah terdeteksi dengan baik, proses hukum dapat segera dimulai baik dalam
rangka mendakwa tindak pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang
terkait. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa PJK di wajibkan melaporkan
transaksi keuangan mencurigakan (STR-suspicious transaction report)
dan transaksi keuangan tunai (CTR-cash transaction report).Sedangkan
Pasal 27 UUTPPU memberikan kewenangan kepada PPATK antara lain: meminta dan
menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan
atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan
kepada penyidik atau penuntut umum. Dari tugas dan wewenang tersebut di atas
terdapat dua tugas utama yang menonjol dalam kaitannya dengan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang, yaitu tugas mendeteksi terjadinya tindak pidana
pencucian uang dan tugas membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan
pencucian uang dan tindak pidana yang melahirkannya (predicate crimes)
khusunya korupsi. Atas dasar laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK
melakukan analisa (mendeteksi tindak pidana pencucian uang) kemudian
menyerahkan laporan hasil analisisnya kepada pihak Kepolisian dan Kejaksaan
(Pasal 27). Untuk memperoleh laporan dan hasil deteksi atau analisa yang baik
PPATK harus menjalin kerjasama yang baik dengan penyedia jasa keuangan dan
instansi terkait lainnya atau dengan FIU dari negara lain. Selanjutnya dalam
proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama dan membantu pihak
penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki. Informasi tersebut
dapat berasal dari data base PPATK, sharing informasi dengan instansi
pemerintah atau dapat juga berasal dari sharing information dengan FIU dari
negara lain sebagaimana telah diuraikan di atas.Berdasarkan angka statistik per
31 Agustus 2005, PPATK telah menerima sebanyak 2.561
laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dari 95 bank umum dan 1 BPR, 4
perusahaan efek, 9 pedagang valas, 1 dana pensiun, 3 lembaga pembiayaan, 1
manajer investasi dan 5 perusahaan asuransi. Jumlah penyedia jasa
keuangan yang telah menyampaikan laporan tersebut dirasakan belum optimal
dibandingkan dengan jumlah PJK lebih dari 2.000 perusahaan. Dari 2.561 laporan
transaksi keuangan mencurigakan tersebut, PPATK telah melakukan analisis dengan
menambahkan data dan informasi yang mendukung, dan hasilnya telah diserahkan
kepada Kepolisian sebanyak 330 kasus yang merupakan hasil analisis dari 616
LTKM dan kepada Kejaksaan sebanyak 3 kasus yang merupakan hasil analisis dari
11 LTKM. F. Proses Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang
Setelah menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian
selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan
tidan pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana seperti proses penanganan tindak pidana lainnya, kecuali yang
secara khusus diatur dalam UU TPPU. Ketentuan-ketentuan khusus ini tentu
memberikan keuntungan atau kemudahan bagi penyidik, yaitu :1.
Dari hasil analisis PPATK yang bersumber dari berbagai laporan atau
informasi, seperti LTKM, LTKT dan laporan pembawaan uang tunai ke dalam atau ke
luar wilayah RI, akan sangat membantu penegak hukum dalam mendeteksi upaya
penjahat untuk menyembunyikan atau menyamarkan uang atau harta yang merupakan
hasil tindak pidana korupsi pada sistem keuangan atau perbankan. Hal ini
karena hasil analisis tersebut merupakan filter dari seluruh laporan-laporan
yang ada dan memberikan informasi mengenai indikasi hasil tindak pidana,
perbuatan pidana, dan pelaku serta jaringan pidana yang terkait.
2. Pasal 39 sampai 43 UU TPPU memberikan
perlindungan saksi dan pelapor dalam tindak pidana pencucian uang pada setiap
tahap pemeriksaan: penyidikan, penuntutan dan peradilan, sehingga mendorong
masyarakat untuk menjadi saksi atau melaporkan tindak pidana yang terjadi. Hal
tersebut mengakibatkan upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi
lebih efektif. Perlindungan ini antara lain berupa kewajiban merahasiakan
identitas saksi dan pelapor dengan ancaman pidana bagi pihak yang
membocorkan dan perlindungan khusus oleh negara terhadap
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya termasuk
keluarganya. 3. Adanya pembuktian terbalik, yaitu
terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU TPPU).
4. Dalam penyidikan, dapat memanfaatkan FIU/PPATK
untuk memperoleh keterangan dari FIU negara lain atau memanfaatkan data base
dan hasil analisis yang dimiliki FIU/PPATK.Di samping ketentuan yang
telah diuraikan di atas, pasal 30 sampai dengan 38 UU TPPU secara khusus telah
mengatur proses hukum tindak pidana pencucian uang sejak penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketentuan mengenai hukum acara (proses
hukum) tersebut sengaja dibuat secara khusus karena tindak pidana pencucian
uang merupakan tindak pidana baru yang memiliki kharakteristik tersendiri
dibandingkan dengan tindak pidana pada umumnya. Hal ini tercermin dari
ketentuan mengenai pemblokiran harta kekayaan, permintaan keterangan atas harta
kekayaan, penyitaan, alat bukti dan tata cara proses di
pengadilan.1. PemblokiranUU TPPU tidak
mengenal pemblokiran rekening, yang diatur dalam UU TPPU adalah harta kekayaan,
oleh karena itu yang dapat diblokir oleh penyidik, penuntut umum atau hakim
adalah harta kekayaan dan bukan rekening (vide Pasal 32 UU TPPU). Nilai atau
besarnya harta kekayaan yang diblokir adalah senilai atau sebesar harta kekayaan
yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Bunga atau
penghasilan lain yang didapat dari dana/harta kekayaan yang diblokir dimasukkan
dalam klausula Berita Acara pemblokiranDalam hal dana dalam suatu rekening
jumlahnya lebih kecil dari jumlah dana yang diketahui atau patut diduga berasal
dari tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang ada dalam
rekening dimaksud pada saat pemblokiran. Sebaliknya, apabila dana yang ada
dalam rekening lebih besar dari nilai yang diketahui atau patut diduga berasal
dari hasil tindak pidana, maka yang diblokir hanya sebesar dana yang diketahui
atau patut diduga berasal dari tindak pidana.Oleh karena yang diblokir bukanlah
suatu rekening, melainkan harta kekayaan senilai atau sebesar yang diketahui
atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, maka aktifitas rekening
tidak terganggu, dengan ketentuan jumlah dana yang diblokir dalam rekening
tersebut tidak boleh berkurang.Jumlah dana yang ada pada rekening untuk
sementara diblokir seluruhnya dengan syarat Penyidik/PU/Hakim dalam surat
perintah pemblokiran dan Berita Acara Pemblokiran harus menyebutkan mengenai
“kepastian jumlah harta kekayaan/uang yang seharusnya diblokir, masih dalam
proses penyidikan dan hasilnya akan diberitahukan kemudian.”Mengenai tata
caranya, perintah pemblokiran dibuat secara tertulis dan jelas dengan
menyebutkan point-point yang diatur dapal Pasal 32 ayat (2) UU TPPU dengan
tembusan ke PPATK, dan mencantumkan secara jelas pasal UU TPPU yang diduga
dilanggar. Tembusan perlu juga dikirim ke Bank Indonesia apabila predicate
crime-nya tindak pidana perbankan.2. Permintaan keterangan (membuka
rahasia bank)Sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk meminta
keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan tentang Harta Kekayaan setiap orang yang
telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, tidak diperlukan
permohonan dari Kapolri/Jaksa Agung/Ketua Mahkamah Agung untuk meminta izin
dari Gubernur BI (Pasal 33 UU TPPU). Sementara itu, untuk kasus korupsi,
menurut UU No. 31 Tahun 1999, tetap diperlukan permohonan dari Kapolri,
Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung untuk meminta keterangan tentang keadaan
keuangan seorang tersangka korupsi (Pasal 29). Dengan demikian, ketentuan dalam
UU TPPU dapat mempercepat upaya untuk memperoleh barang bukti dalam
rangka memberantas tindak pidana korupsi.Pasal 33 UU TPPU menjelaskan kriteria
para pihak yang dapat dimintakan informasi rekeningnya tanpa harus berlaku
ketentuan rahasia bank yaitu : 1) pihak yang telah dilaporkan oleh PPATK,
2) tersangka dan 3) terdakwa. Di luar tiga kategori tersebut di atas,
tidak bisa dimintakan kepada bank mengenai informasi suatu rekeningnya, kecuali
menggunakan mekanisme umum yaitu adanya permintaan tertulis dari pimpinan
instansi kepada Gubernur Bank Indonesia.Jika dalam perkembangan penyidikan
diketahui adanya pihak lain yang diduga terkait dengan aliran dana atau terkait
dengan suatu tindak pidana, sedangkan orang tersebut tidak termasuk dalam tiga
kategori di atas, maka hal-hal yang perlu dilakukan penyidik, antara lain :·
Penyidik menginformasikan ke PPATK dan selanjutnya PPATK memberitahukan ke PJK
untuk dilaporkan sebagai STR. STR ini selanjutnya dianalisis oleh PPATK dan
hasil analisisnya dilaporkan ke penyidik untuk ditindaklanjuti. ·
Penyidik menginformasikan ke PJK, dan oleh PJK dilaporkan ke PPATK sebagai STR.
Kemudian STR dianalisis oleh PPATK dan hasilnya dilaporkan kepada penyidik
untuk ditindaklanjuti.·
Penyidik meminta izin kepada Gubernur BI untuk membuka rahasia bank.Permintaan informasi/keterangan harus dibuat dalam
bentuk surat tertulis dengan syarat :·
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai Pasal 33 ayat (4) UU TPPU· menyebutkan maksud dan
tujuan permintaan informasi, antara lain : status permintaan informasi (untuk
penyidikan atau penuntutan); tindak pidana yang disangkakan/ didakwakan (dugaan
TPPU berikut predicate crime-nya); identitas seseorang; tempat harta kekayaan
(cabang Bank tertentu); nomor rekening (jika ada); dan periode transaksi yang
dilakukan.Surat dari penyidik ke bank/PJK perihal permintaan
informasi/keterangan terkait dengan tindak lanjut STR dengan tembusan ke PPATK.
Dalam hal tindak lanjut STR tersebut terkait dengan tindak pidana perbankan,
surat tersebut ditembuskan baik ke PPATK dan Bank Indonesia.Untuk mengurangi
intensitas hubungan langsung penegak hukum ke PJK dalam rangka TPPU,
sebisa mungkin hubungan langsung tersebut dilakukan sejak nasabah bank yang
bersangkutan telah dijadikan tersangka kasus TPPU. Selama masih dalam
penyelidikan, PPATK menjadi fasilitator antara PJK dengan penegak
hukum.3. PenyitaanDana yang disita tetap berada dalam rekening di
bank yang bersangkutan (bank tempat dilakukannya pemblokiran) dengan status
barang sitaan atas nama penyidik atau pejabat yang berwenang. Hal ini sesuai
dengan petunjuk pelaksanaan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia,
Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia
No.KEP-126/JA/11/1997, No.KEP/10/XI/1997, No.30/KEP/GBI Tanggal 6 November 1997
tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana Di Bidang Perbankan. Dalam
mengungkap fakta bahwa seseorang mengetahui atau patut menduga bahwa harta
kekayaan dimaksud berasal dari hasil tindak pidana, penyidik dapat menjelaskan
dengan pendekatan bahwa :-
Diketahui sama dengan dolus atau sengaja, artinya seseorang itu benar
mengetahui bahwa harta kekayaan untuk bertransaksi berasal dari hasil tindak
pidana, terlepas apakah tindak pidana dilakukan sendiri, dilakukan bersama-sama
dengan orang lain atau dilakukan orang
lain.- Patut menduga artinya
culva atau alfa, subyek lalai dalam menilai terhadap harta kekayaan.
- Di samping itu, patut menduga
dapat dilihat pula dari kecakapan seseorang, artinya seseorang tersebut harus
memiliki kapasitas untuk dapat dinilai apakah lalai atau
tidak- Secara praktis, untuk
dapat menilai bahwa suatu harta kekayaan diketahuinya atau patut diduganya
berasal dari hasil tindak pidana, dapat dilihat dari :ü apakah transaksi yang dilakukan sesuai
profile?ü apakah seseorang
tersebut melakukan transaksi sesuai kapasitasnya?ü
apakah transaksi yang dilakukan terdapat underlying transaksinya?Terlepas dari
hal tersebut di atas, sesuai penjelasan Pasal 3 UU TPPU, untuk dapat dimulainya
pemeriksaan TPPU, terhadap unsur “harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana” tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu
tindak pidana asalnya Pembuktian tersebut menjadi tanggung jawab (beban)
terdakwa saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai Pasal 35 UU TPPU
bahwa terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana.Berkenaan dengan pendakwaan dalam sidang pengadilan, terhadap
dakwaan komulatif tidak ada masalah, tetapi terhadap dakwaan alternatif (primer
subsidier) akan muncul masalah karena dipisah pemberkasannya. Seringkali satu
alat bukti digunakan terhadap kedua kasus (predicate crime dan money
laundering). Dalam common law system, apabila proses pidana menyimpang dari due
process of law (hukum acara) maka proses hukum gugur/batal. Selanjutnya,
setelah selesai penyidikan dilakukan, penyidik meneruskan pada Jaksa Penuntut
Umum. Terdapat berbagai keuntungan bagi Jaksa selaku penuntut umum dalam
menyusun dakwaan dan melakukan penuntutan dalam sidang pengadilan dalam
menerapkan UU TPPU terutama adanya ketentuan pembuktian terbalik, yaitu
terdakwa di sidang pengadilan wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. (Pasal 35 UU TPPU). Di samping
itu, JPU juga lebih leluasa dalam menyusun dakwaan dengan menerapkan pasal
pidana baik secara komulatif (tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian
uang) atau alternatif (tindak pidana asal atau pidana pencucian uang)Dalam hal
penyusunan dakwaan selesai dilakukan, kegiatan selanjutnya adalah proses
persidangan di pengadilan. Beberapa keuntungan dalam menerapkan UUTPPU dalam
proses pemeriksaan oleh hakim di sidang pengadilan, antara lain :
- Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita dirampas untuk negara (Pasal 37 UU TPPU).
- Berdasarkan Pasal 6 UU TPPU setiap orang yang menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, diancam dengan hukum pidana (tindak pidana pencucian uang “pasif”). Ketentuan untuk cukup mudah diterapkan dalam proses pemeriksaan karena hakim lebih banyak menilai pada kebenaran formal daripada material.
- Berita Acara Pemeriksaan seharusnya tidak mencantumkan nama pelapor dan saksi serta hal-hal lain yang mengarah pada terungkapnya identitas pelapor maupun saksi; atau BAP dibuat dalam bentuk Berita Acara Pendapatan oleh penyidik. Hal ini terkait dengan Perlindungan khusus bagi saksi dan Pelador. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi pelapor dan saksi serta perlindungan bagi penyidik, hal-hal yang musti dilakukan antara lain :
-
Permintaan saksi dari bank diajukan secara tertulis kepada bank (permintaan
bukan ditujukan pada nama pejabat
bank)- kapasitas saksi adalah
mewakili institusi (bukan
individu)- tidak menyebutkan
identitas pelapor dan saksi, atau identitasnya disamarkan (a.l. laki-laki jadi
perempuan, atau sebaliknya). F. PenutupPPATK sebagai
lembaga intelijen keuangan cukup membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang terutama memberikan hasil analisis dan informasi
keuangan lainnya kepada aparat penegak hukum. Di samping itu, PPATK juga dapat
memenuhi informasi yang diminta oleh penyidik lainnya yang dapat dipakai dalam
rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melalui mekanisme tukar-menukar
informasi.
Ketentuan yang mengatur mengenai proses hukum (hukum acara) tindak pidana
pencucian uang menjadi kunci sukses dalam menindak lanjuti setiap hasil
analisis PPATK untuk dapat diajukan dalam sidang pengadilan, sehingga pelaku
tindak pidana tidak bisa menghindar dari ancaman hukuman dan hasil tindak
pidananya dapat dirampas untuk negara.
[1] Publikasi PERC Hongkong tahun 1995 : Indonesia
merupakan negara terkorup, dan tahun 2002 Indonesia ditempatkan sebagai negara
terkorup di Asia. Sementara itu, Transparancy International menempatkan
Indonesia sebagai negara ke 10 terkorup dari 113 negara yang disurvey pada
tahun 2003 dan 3 besar terburuk pada tahun 2004.
[2] Media Indonesia, Survei Kemudahan Berbisnis di 155
Negara, Peringkat Indonesia Rendah Rabu 14 September 2005, hal 4, kolom 2-3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar