Jumat, Juli 20

Sejarah Runtuhnya Uni Soviet –Penyebab, Proses dan Akibat Keruntuhan


Uni Soviet merupakan salah satu (mantan) negara adidaya dunia yang sekaligus menjadi rival abadi Amerika Serikat. Negara ini merupakan negara komunis teragung sejagat raya pada masanya. Sehingga kekuatan politiknya tidak dapat diremehkan sejak ia berdiri tanggal 25 Oktober 1917. Bahkan 3 tahun setelah itu, tepatnya di tahun 1920 Vladimir Lenin terus berusaha melebarkan sayap komunisme ke luar Eropa Timur. Usahanya ini dikenal dengan Komintern (Komunis Internasional).
Pada masa kejayaannya, Uni Soviet yang merupakan gabungan dari beberapa negara berhasil menularkan paham komunismenya pada beberapa negara di luar Eropa Timur. Namun dinamisme perkembangan di dalam tubuh negaranya sendiri gagal menyatukan negara-negara bagian yang bersatu di bawah naungan Uni Soviet.
Negara ini wajib memberikan perlindungan dan sumbangan materi kepada negara berpaham sosial-komunis yang menjadi bawahannya. Semua ini dipicu juga karena perang dingin dengan Amerika Serikat. Kedua negara besar tersebut tidak pernah bentrok fisik langsung. Tetapi melalui tindakan di balik layar yang mendorong negara-negara kecil agar terlibat konflik lebih dalam, kedua negara ini telah jelas menunjukkan ada dendam di antara mereka.
Sementara itu, demokrasi Amerika mendengungkan kebebasan yang tidak membatasi rakyatnya mengeluarkan suara dan berkreativitas. Di pihak yang lain, sosial-komunis terus dipaksakan menjadi ideologi bagi Uni Soviet dan sekutunya agar negara yang menganut paham ini dapat hidup teratur serta adil.
Nyatanya zaman memberikan tantangan yang semakin berat bagi kedua kubu, United States of America dan Uni Soviet. Dan akhirnya yang keluar dari perang dingin sebagai pemenang adalah Amerika Serikat. Cool War atau perang dingin yang sudah lama berlangsung disudahi dengan runtuhnya negara Uni Soviet pada 25 Desember 1991.
Penyebab Keruntuhan
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi keruntuhan negara sebesar Uni Soviet. Tentunya faktor-faktor tersebut lebih banyak berasal dari internal negara. Seperti permasalahan KKN yang tidak transparan, konflik antar suku bangsa dan beberapa masalah yang kemudian menjadi penyulut gerakan sporadis penghancur kedaulatan negara. Berikut adalah penyebab keruntuhan Uni Soviet :
  1. Keragaman Budaya
Keragaman budaya ternyata menjadi sumber permasalahan yang sangat membahayakan kedaulatan negara. Sehingga negara kita dapat berkaca kepada sejarah runtuhnya Uni Soviet agar dapat menjadikan perbedaan sebagai sumber kekuatan, bukannya keruntuhan. Di Indonesia, kasus semacam ini bisa diatasi dalam sejarah kerajaan Majapahit yang melahirkan sejarah bhinneka tunggal ika.
Uni Soviet merupakan sebuah pemerintahan pusat yang berada di Moskow, namun ia membawahi 15 negara berbentuk republik. Tentunya dengan jumlah negara sebanyak itu, luas wilayah Uni Soviet sangat lebar, bahkan menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Selain luas wilayah, berpengaruh juga keragaman etnis, suku bangsa, adat istiadat, kebudayaan dan berbagai ciri khas dari setiap negara bagian.
Etnosentrisme masih sangat kental terasa meskipun sudah ada pemersatunya, Uni Soviet. Sayangnya, kenyataan tetap bersikukuh membuat setiap negara bagian dari Uni Soviet memegang ciri khas dan sifat kedaerahan masing-masing. Tidak ada rasa nasionalisme bernama satu Uni Soviet pada saat itu. Sehingga faktor ini menjadi faktor utama dan pertama yang menyebabkan keruntuhan Uni Soviet.
Ketika pemerintah pusat sudah kewalahan menjamin kesejahteraan hidup seluruh negara bagiannya, ada banyak pihak yang tidak puas dengan kinerja pemerintah. Mereka pun memutuskan melakukan gerakan sporadis yang menyerang pemerintah pusat. Seperti di Indonesia, kebanyakan negara yang berani menentang pemerintah secara terang-terangan adalah negara yang wilayahnya jauh dari ibukota, Moskow.
  1. Totaliter
Ini bukan sejarah NAZI, namun pemerintahan di Uni Soviet masa Lenin dan seterusnya memakai sifat totaliter. Sebenarnya tujuan dari penerapan sifat ini pada kepemimpinan diktator tidak sepenuhnya jelek. Para penguasa menginginkan sebuah keteraturan dalam negara agar cepat mencapai tujuannya. Sehingga rakyat harus sepenuhnya percaya pada negara dan pemerintah.
Karena keharusan menghargai negara dengan sepenuh kepercayaan, akhirnya beberapa pihak dalam negeri yang mencari untung memanfaatkan keadaan ini. Mereka bertindak sebagai orang-orang penjilat yang tidak benar-benar peduli dengan rakyat. Mereka bersikap untuk menyenangkan negara dan pemerintah demi kepentingannya sendiri.
Sementara itu, pemerintahan yang totaliter membius rakyat kecil dalam berkreasi dan berpendapat. Mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara sendiri, sifat totaliter ini juga sangat mengekang setiap gerakan yang berusaha meneriakkan kebebasan. Untuk memantapkan sifat totaliter di Uni Soviet, negara ini memiliki polisi rahasia bernama KGB bentukan Felix Dzerzhinsky yang terkenal kejam.
  1. Miskin
Tidak ada negara maju yang kondisi ekonomi negaranya memburuk dari hari ke hari. Kondisi miskin ini dinilai dari standar kesejahteraan atau taraf hidup rakyat dan beberapa indikator kemajuan ekonomi. Terbukti negara-negara blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat memiliki taraf hidup yang lebih baik dibanding negara sosialis-komunis.
Perekonomian di Uni Soviet sendiri pada waktu itu menerapkan sistem sosialis sebagai dampak dari ideologi yang dianut oleh pemerintah. Karena memilih ideologi tersebut, segala hal yang berurusan dengan proses ekonomi dilakukan dengan keterlibatan pemerintah.
Tidak ada kebebasan berkreativitas agar ekonomi dapat semakin maju. Tidak ada pula usaha pemerintah menyerahkan aset negara yang memungkinkan dikelola swasta agar dikelola oleh pihak swasta sehingga dapat meringankan tugas pemerintah. Karena terus menerus menunggu pemerintah dari proses produksi, distribusi dan konsumsinya, perekonomian di Uni Soviet berkembang sangat lambat bahkan hampir macet.
Pengeluaran negara yang harus membiayai negara lain sebagai pendukungnya di dunia internasional cukup menguras kas negara. Akibatnya kebutuhan dalam negeri tidak kunjung terpenuhi dan malah terjadi kemiskinan pada rakyat jelata.
  1. Kemajuan Zaman
Kemajuan zaman selalu identik dengan globalisasi. Dan globalisasi ini selalu berkembang bersama kecanggihan tekhnologi. Maklum, sebagai sebuah negara yang memiliki 2 generasi –baru dan lama- akan mengalami perbedaan pendapat. Namun perbedaan ini tidak seperti perbedaan antar generasi pada sejarah Rengasdengklok di Indonesia.
Generasi muda Uni Soviet mengetahui perkembangan dunia internasional melalui alat komunikasi radio dan televisi. Dari kedua media tersebut, keinginan menjadi individu yang bebas merdeka menyuarakan dan mengkreasikan pikiran tumbuh semakin subur. Mereka memiliki ide merebut kembali hak asasi manusia dari radio dan televisi yang memberitahu kemajuan serta kemapanan kehidupan negara luar tanpa totaliter, dengan demokrasi penuh. Termasuk dalam golongan muda Soviet yaitu Gorbachev dan Yeltsin.
  1. Generasi Baru
Generasi baru Uni Soviet lahir sebagai efek dari kemajuan zaman. Generasi ini berhasil memegang kendali pemerintahan. Adalah Mikhail Gorbachev yang berhasil menduduki kursi PKUS (Partai Komunis Uni Soviet). Dia merupakan seorang lelaki yang memiliki visi kuat ke depan dengan semangat mudanya yang membara untuk mendapatkan perubahan.
Gorbachev selalu digadang-gadang dapat memperbaiki keadaan Uni Soviet yang sudah sangat buruk. Ia lahir di era 1930-an dan menjadi Sekretaris Jenderal PKUS di tahun 1985. Dengan ide dan perencanaannya yang akan membawa rakyat keluar dari totalitarianisme, sosialisme dan komunisme, pria ini ternyata menjadi penguasa terakhir di Uni Soviet.
  1. Bubarnya Pakta Warsawa
Pakta Warsawa dilangsungkan di Warsawa, sebuah daerah milik negara Polandia. Pakta ini menghasilkan kesepakatan di antara seluruh negara komunis yang berada di Eropa. Kesatuan militer komunis lahir dari kesepakatan Warsawa ini yang resmi disepakati pada tanggal 14 Mei 1955.
Bubarnya pakta Warsawa ini diakibatkan oleh Uni Soviet sendiri. Sebagai negara adidaya diantara negara komunis Eropa, Uni Soviet memegang peran penting di dunia komunis internasional. Kebijakan Gorbachev yang mulai membuka diri, pengaruh politik Amerika yang sangat kuat terhadap perekonomian Uni Soviet dan seluruh dunia mengakibatkan pakta tersebut perlahan melemah dan bubar.
Tujuan dari dibentuknya pakta Warsawa sebetulnya untuk mempersiapkan diri menerima serangan dari NATO –aliansi militer milik blok barat yang dikepalai Amerika. Namun pada tanggal 31 Maret tahun 1991 –tahun runtuhnya Uni Soviet- pakta ini bubar secara tidak resmi. Kebubarannya diresmikan pada tanggal 1 Juli 1991.
Proses Runtuhnya Uni Soviet

Setelah memahami mengapa negara sebesar Uni Soviet yang lahir dari Revolusi Bolshevik tahun 1917 bisa runtuh, kita harus memahami proses dari keruntuhannya. Keruntuhan ideologi komunis dianggap jatuh bersama keruntuhan Uni Soviet sebagai negara komunis terbesar dan pertama di dunia. Bahkan tanda-tanda keruntuhannya telah tampak semenjak pemerintahan masih dipegang oleh Nikita Kruschev. Beliau Presiden Uni Soviet yang menjadi salah satu dari 3K yang paling berpengaruh di dunia –Kruschev, Karno (Soekarno), dan Kennedy.
  • Beban Masalah
Uni Soviet ketika dikendalikan Mikhail Gorbachev mengalami masalah yang sangat kompleks. Ia memiliki beban tanggungan dalam dan luar negeri yang harus segera diselesaikan. Dan karena ketidakmampuan sosialis-komunis menyelesaikan masalah-masalah tersebut sesegera mungkin, Gorbachev menerapkan cara lain yang lebih terbuka dan melibatkan rakyat sebagai bagian dari negara.
Beban masalah dalam negeri yang sangat berat merupakan masalah ekonomi yang terus memburuk, birokrasi pemerintahan yang ruwet dan macetnya produktivitas negara dalam beroperasi secara normal. Sementara itu, di luar negeri Uni Soviet sedang dihadapkan dengan banyak permasalahan antar negara mulai dari negara di Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika bahkan hingga Amerika Latin. Dan yang sangat memalukan adalah tragedi kebocoran nuklir Chernobyl hingga mengharuskan Uni Soviet kehilangan kepercayaan dari beberapa negara yang kesal kena dampak pencemaran lingkungannya.
  • Perestroika
Perestroika merupakan upaya Gorbachev menyelesaikan masalah kompleks yang dihadapi Uni Soviet. Tujuan dari dilaksanakannya konsep perestroika yaitu agar terjadinya restrukturisasi dalam negara. Pada prakteknya, konsep perestroika justru menjadi awal kehancuran total Uni Soviet.
Awalnya, konsep ini dijalankan dengan menentang kelompok pro dan kontra yang hadir memberi tanggapan. Gorbachev menganggap orang-orang yang kontra adalah generasi lama yang pola pikirnya masih konservatif, sehingga mereka perlu pembaruan. Padahal di pihak kontra ini berdirilah kepala KGB, Menteri Pertahanan, Wakil Presiden dan beberapa menteri lainnya.
Kelompok kontra kemudian merencanakan siasat agar Gorbachev turun dari kursinya. Sehingga ia dan para generasi baru dapat tunduk kembali kepada kaum komunis ortodoks yang terdiri dari golongan konservatif. Sayangnya usaha kudeta ini gagal dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 1991. Perestroika pun terus berjalan dengan beberapa asas yang menjadi unsurnya.
  • Glasnost (Keterbukaan)
Sudah lama rakyat memimpikan sebuah negara yang terbuka. Gorbachev adalah seorang pemimpin yang memahami keinginan rakyatnya, ia pun memasukkan unsur keterbukaan atau glasnost pada konsep yang dijalankannya.
Keterbukaan yang dimaksud hampir sama dengan reformasi Indonesia yang menandai berakhirnya orde baru. Glasnost di Uni Soviet membiarkan rakyat memiliki hak milik atas suatu barang dan perusahaan swasta, membiarkan rakyat menyuarakan pendapat di media massa, membiarkan media menampilkan berita beragam yang dibutuhkan rakyat, dan membiarkan memasukkan unsur kebebasan agama dalam kehidupannya.
  • Demokratisasi
Unsur demokratisasi ini diterapkan pada bidang politik. Sistem monopoli kursi politik yang diterapkan sejak kabinetnya Lenin, berubah menjadi demokratis. Rakyat diberi pilihan secara bebas agar menentukan orang yang tepat menjadi wakilnya sebagai penyambung suaranya di kursi parlemen.
  • Hukum Keteraturan
Hukum benar-benar ditegakkan di masa Gorbachev. Terutama dimulainya penegakan hukum Hak Asasi Manusia (HAM) yang dulunya kurang dihargai. Fokus utama dimasukkannya unsur ini ke dalam konsep perestroika adalah menormalkan kondisi ekonomi Uni Soviet yang sempat turun.
Jadi dengan unsur ini, negara memberikan subsidi kepada perusahaan swasta yang bangkrut, negara juga memberikan kebebasan individu dan swasta untuk mengembangkan perekonomian. Pada masa ini, banyak alat berat yang menjadi usaha prioritas pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Yang terpenting seluruh kebebasan tersebut berada dalam bingkai keteraturan.
Konsep perestroika yang kembali dijalankan Gorbachev pada akhirnya gagal. Hal ini dikarenakan Gorbachev menyadari banyak orang-orang dari Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) yang berusaha mengkudetanya. Bagaimana ia dapat bertahan memimpin bila yang mendudukannya di kursi pimpinan terus berusaha menjatuhkannya.
Gorbachev memutuskan untuk melepas kekuasaannya di tanggal 24 Agustus 1991, hanya beberapa hari setelah kegagalan kudeta. Dengan mundurnya Gorbachev dari kepemimpinannya, maka semakin meriahlah kehancuran Uni Soviet. Negara-negara bagian yang semula masih mempersiapkan strategi matang untuk melakukan gerakan sporadis akhirnya mempercepat diri berpisah dengan Uni Soviet.
Kebubaran PKUS dan mundurnya Gorbachev dari sana sudah sama dengan keruntuhan Uni Soviet. Partai besar ini merupakan Uni Soviet itu sendiri. Ia yang mengawali berdirinya Uni Soviet dan mengelola negara tersebut kurang dari seabad.
Setelah Turunnya Gorbachev, satu per satu negara bagian Uni Soviet melepaskan diri. Georgia yang menjadi negara perdana pecahan Uni Soviet di tahun 1990 terus disusul jejaknya oleh negara bagian yang lain. Hingga keruntuhan Uni Soviet resmi dialami pada tanggal 31 Desember 1991.
Akibat Keruntuhan
Dengan keruntuhan Uni Soviet sebagai negara komunis adidaya dunia, maka runtuh pula kekuasaan komunis internasional. Berarti hal tersebut membuat Amerika Serikat memenangkan perang dingin yang sudah berakhir.
Banyaknya negara yang berbeda adat di bawah Uni Soviet pada akhirnya mendapatkan jati diri dan kebebasannya sendiri dalam menyelenggarakan pemerintahan dan kedaulatan sesuai kepribadian warganya sendiri. Mereka mendirikan negara baru yang sudah tidak lagi terikat dengan sosialis-komunis. Bahkan hampir semua mantan negara bagian Uni Soviet lebih menyukai demokrasi dibandingkan meneruskan sistem warisan Uni Soviet.
Hak Asasi Manusia di seluruh negara bagian Uni Soviet yang dulu dikekang oleh pemerintah pun sudah dihargai sepenuhnya. Bahkan ada banyak kreativitas dan prestasi individu yang terus bermunculan seiring keruntuhan Uni Soviet dan kebebasan mantan negara bagian mengekspresikan adat istiadat dan budayanya sendiri.
Keruntuhan Uni Soviet yang sangat dramatis membuat beberapa negara komunis lain perlahan melemah. Tidak ada lagi negara besar yang menjadi penyokong mereka menumbuhkan paham komunis di negaranya. Lambat laun, pengaruh komunis sama sekali hilang dari muka bumi dan malah menjadi musuh bagi banyak negara di dunia.

Kamis, Juli 19

4 Organisasi Penting di Palestina Ini Wajib Kamu Tahu Tak hanya dengan Israel, konflik pun ada di dalam negeri


Di saat Mahmoud Abbas berupaya untuk mencari dukungan diplomatik dari negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), pemimpin Hamas justru sempat menyerukan ajakan untuk melakukan Intifada jilid tiga.
Hamas, partai politik yang disebut sebagai organisasi teroris oleh pemerintah Amerika Serikat, memang memiliki ideologi yang berbeda dengan Fatah, partai yang menaungi Abbas. Layaknya partai politik di negara lain, keduanya juga selalu bersaing untuk menjadi pihak dominan di Palestina.
Namun, situasi di Palestina jauh lebih sensitif dari kebanyakan negara sehingga perbedaan langkah keduanya bisa sangat berpengaruh terhadap nasib Palestina secara umum. Berikut ini adalah informasi yang perlu kamu tahu tentang faksi-faksi di Palestina tersebut:
1. Fatah
Dibentuk pada akhir 1950-an oleh diaspora Palestina di Kuwait, Fatah adalah kependekan dari Harakat al-Tahrir al-Filistiniya atau Gerakan Nasional Pembebasan Palestina. Fatah sendiri dalam Bahasa Arab berarti menaklukkan. 
Awalnya, Fatah berambisi untuk mendirikan negara Palestina menggunakan senjata melawan Israel. Sayap militer utamanya adalah Al-Asifah atau Sang Badai. Selain berada di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Al-Asifah juga memiliki basis di sejumlah negara Arab.
Salah satu tokoh populer Fatah adalah Yasser Arafat. Ia menjadikan Fatah sebagai partai politik dominan di Palestina. Setelah bertahun-tahun menggunakan kekerasan, Fatah akhirnya bersedia untuk menempuh jalur diplomatik dan bernegosiasi dengan Israel.
Saat menguasai Palestina pada awal 1990-an, Arafat mengakui Israel sebagai negara. Meski begitu, ia juga masih memperjuangkan agar Palestina mendapat status yang sama dan kedua negara bisa hidup berdampingan seperti yang tercantum dalam two-state solution yang didukung oleh PBB. Saat ini, pada praktiknya, Fatah menguasai Tepi Barat.
2. Hamas
Hamas sendiri adalah kependekkan dari Harakat al-Muqawamah al-Islammiya atau Gerakan Perlawanan Islam. Hamas sendiri berarti semangat untuk mencapai sebuah tujuan. 
Didirikan setelah Intifada pertama di Gaza pada 1987, Hamas juga bercita-cita untuk mendirikan negara Palestina. Di awal mereka berdiri, Ikhwanul Muslimin di Mesir menjadi satu organisasi yang sangat dekat dengan Hamas.
Popularitas Hamas juga meningkat pesat karena menyediakan bantuan-bantuan sosial kepada warga Palestina. Hamas pertama kali mendeklarasikan diri sebagai partai politik pada 2005 dan memenangkan pemilu setahun setelahnya dengan mengalahkan Fatah yang sudah dipimpin oleh Abbas.
Sejak saat itu, Hamas adalah pihak yang pada praktiknya menguasai Jalur Gaza. Mereka pun menempuh jalur militer untuk melawan Israel. Perbedaan mendasar Hamas dan Fatah adalah bahwa Hamas benar-benar menganggap keberadaan Israel itu ilegal.
3. Palestinian Liberation Organization (PLO)
PLO atau Organisasi Pembebasan Palestina adalah sebuah badan perwakilan warga Palestina yang menjalankan pemerintahan yang disebut Palestinian National Authority atau Otoritas Palestina (PA). PLO dibentuk oleh Liga Arab pada 1964 untuk merespons tren radikalisme militan melawan Israel.
Sejak awal berdiri, lembaga yang terdiri dari partai politik, mahasiswa, hingga buruh ini dikuasai oleh Fatah. Kekuasaan mereka di Palestina akhirnya menurun setelah Hamas, yang bukan anggota PLO, memenangkan pemilu 2006 dan memerintah di Jalur Gaza. Sikap politik PLO pun secara umum mengikuti posisi yang diambil oleh Fatah.

4. Palestinian National Authority (PA)

PA merupakan pemerintahan semi-otonom yang mengurusi Palestina, meski pada praktiknya hanya terjadi di Tepi Barat. Mahmoud Abbas saat ini adalah presiden PA dan menjadi pemimpin delegasi Palestina di berbagai forum internasional. Dengan kata lain, Abbas bernegosiasi dengan negara lain atas nama warga Palestina.
Hubungan PA sendiri terbilang tidak baik dengan Hamas meski keduanya punya tujuan yang sama: berdirinya Palestina yang merdeka dan berdaulat. Oslo Accords yang ditandatangani oleh Yasser Arafat memberikan Israel kontrol penuh atas perekonomian, keamanan, dan hak-hak sipil Paalestina di sebagian besar Tepi Barat.
Hamas memandang ini adalah bentuk pengkhianatan Fatah terhadap warga Palestina karena mau bekerja sama dengan Israel. Fatah, atau dalam hal ini Abbas, tidak bisa mengambil risiko untuk menuruti permintaan Hamas karena khawatir akan serangan balasan dari Israel.
"PA tidak percaya pada legitimasi militer Hamas. Ini artinya PA ingin mengakhiri perlawanan di Gaza dan Hamas menolak itu. Dan jika Fatah menerima perlawanan mereka, Israel akan menempuh langkah-langkah tertentu melawan PA," kata Abdulsattar Qassem, seorang analis politik, kepada Al Jazeera.

Apa itu Hamas? Fakta, Sejarah & Informasi Lainnya


Hamas adalah organisasi radikal Muslim Palestina yang memiliki cabang politik dan militan.
Dalam komunitas internasional, Hamas dikenal untuk kegiatan militan yang meliputi aksi terorisme seperti bom bunuh diri.
Akan tetapi, peran Hamas di Otoritas Palestina dan Wilayah Pendudukan sebenarnya jauh lebih kompleks.
Tujuan yang dinyatakan oleh Hamas adalah penghapusan Negara Israel, membuat banyak orang dan organisasi internasional mengklasifikasikan organisasi ini sebagai kelompok anti-Semit.
Kata “hamas” berarti “semangat” dalam bahasa Arab, dan juga merupakan singkatan dari Harakat al-Muqawama al-Islamiyyah atau “Gerakan Perlawanan Islam.”
Organisasi ini didirikan pada tahun 1987 sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi Muslim Sunni yang berbasis di Mesir.
Pada tahun 2008, Hamas memiliki setidaknya 1.000 anggota aktif bersama dengan sejumlah besar pendukungnya, termasuk ekspatriat Palestina di seluruh dunia.
Dalam Wilayah Pendudukan, Hamas menjalankan sejumlah program sosial yang dirancang untuk mengambil hati penduduk Palestina seperti pendirian rumah sakit, panti asuhan, dan sekolah.
Pendanaan untuk operasi Hamas terutama berasal dari ekspatriat Palestina di negara-negara kaya minyak Timur Tengah seperti Arab Saudi.
Klasifikasi Hamas sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, Jepang, Israel, Kanada dan Uni Eropa berarti bahwa Hamas tidak dapat mengakses beberapa dana bantuan internasional yang dirancang untuk membantu rakyat Palestina.
Hamas juga terlibat di bidang politik. Pada tahun 2006, Hamas berhasil mengalahkan partai Fatah dalam pemilu, sehingga mengambil alih pemerintahan di jalur Gaza.
Saat program sosial Hamas diterima baik oleh banyak kalangan, tindakan sayap militan banyak mengundang kecaman.
Dalam 15 tahun terakhir atau antara tahun 1993 dan 2008, Hamas bertanggung jawab atas kematian lebih dari 500 orang, banyak dari mereka adalah warga sipil tak berdosa yang tewas dalam bom bunuh diri dan serangan teroris lainnya.
Kelompok ini banyak disalahkan karena memperlambat proses perdamaian di Timur Tengah, yang memicu ketidakbersediaan Israel untuk bernegosiasi dengan organisasi teroris yang memiliki tujuan menghilangkan negara Israel.
Dukungan untuk Hamas di kalangan rakyat Palestina umumnya terbagi. Sebagian warga mendukung metode Hamas, percaya bahwa Hamas terlibat dalam jihad atau perang suci.
Di sisi lain, warga lainnya tidak setuju dengan taktik Hamas dan lebih memilih mencapai tujuan Negara Palestina dengan cara damai tanpa pertumpahan darah.

Jumat, April 13

Difference between Gender Equality and Gender Equity

In the gender literature, we often come across two concepts: ‘gender equality' and ‘gender equity'. They are sometimes used interchangeably, but they do not quite refer to the same thing. We shall briefly explain the difference between them.

• "Gender equality requires equal enjoyment by women and men of socially-valued goods, opportunities, resources and rewards." (http://web.unfpa.org/gender/resources3.htm#2 )

In other words, gender equality refers to equal access to social goods, services and resources and equal opportunities in all spheres of life for both men and women. When there is gender inequality, it is women that are more likely to be disadvantaged and marginalised; but we should not ignore the negative impact that gender inequality can have on men as well. For example, societal norms regarding the appropriate behaviour for men tend to put them under pressure as regards the need to provide materially for their family, and also deny them opportunities of being more nurturing towards their children and wife. Therefore gender equality is the concern of all and changes must be brought about for both men and women. However, this is not to say that men and women are equally affected by gender inequality. It remains true that women have the greater share of disadvantages.

However, gender equality, as defined above, does not often result in equal outcomes for men and women. Being given the same chances in life is not sufficient to bring about true equality. Women and men have different needs and experiences and accommodation should be made for these differences. For example, giving boys and girls equal access to all the courses offered in a school may not result in girls taking advantage of this opportunity if some courses are predominantly filled with male students and have only male teachers. There is still the unfortunate tendency to consider male norms as a measure for women's position. Providing women and men with the same opportunities is the first step; but for true gender equality to be achieved there is a need for gender equity.

• "Gender equity is the process of being fair to women and men." (UNFPA)

Women and men should not only be given equal access to resources and equal opportunities, but they should also be given the means of benefiting from this equality. This is where the concept of ‘gender equity' comes into play. Gender equity implies fairness in the way women and men are treated. The different life experiences and needs of men and women are taken into consideration and compensation is made for women's historical and social disadvantages. The lower status of women in society often constitutes a handicap and provisions should be made to redress this inequality before they can take advantage of the opportunities provided. Gender equity thus serves to level the playing field and empower women. Therefore, we can say that equity is essential to achieve true equality.

Jumat, April 6

Kisah Lelaki yang Nekat Menggebuk Presiden Suharto (Luciano, bersama Vitor Tavarez dan Jose Manuel)

Source: https://www.vice.com/id_id/article/wj7z59/kisah-lelaki-yang-nekat-menggebuk-presiden-suharto?utm_source=viceidfb

Tiga anak muda Timor Leste 23 tahun lalu menggalang demonstrasi nekat di Dresden, Jerman. Aksi mereka memicu kehebohan di Indonesia, sekaligus menjadi penanda senjakala rezim Orde Baru.

Apa yang biasanya dilakukan seseorang saat tinggal berjarak dua langkah dari sosok yang begitu dibenci? Mendelik saja, memaki, atau bahkan sekalian menggebuk kepalanya? Luciano ‘Romano’ Valentim Conceixao memilih yang terakhir. Sikapnya emosional. Barangkali kalian menganggapnya wajar, namanya juga benci.
Perkara pukul memukul ini jadi kurang wajar karena sasarannya adalah Suharto, tokoh sentral rezim militeristis yang mencengkeram Indonesia selama 32 tahun. “Saya juga tidak merencanakannya. Tiba-tiba saja refleks memukulkan gulungan koran ke kepalanya,” kata Luciano, yang saat dihubungi VICE, sedang asyik menyeruput kopi di pinggiran Ibu Kota Dili, Timor Leste.
Inilah cerita tentang tindakan nekat lelaki muda menggebuk kepala seorang penguasa berpengaruh, di tengah demonstrasi yang kelak akan dinamai Insiden Dresden. Hari ini, 23 tahun lalu, gulungan koran menghantam belakang kepala Suharto di museum pinggiran kota industri bekas wilayah Jerman Timur. Tak cuma itu, delegasi Indonesia dipermalukan habis-habisan oleh gerombolan aktivis yang masih belia. Peristiwa yang sekarang terlupakan ini menjadi salah satu penanda senjakala rezim Orde Baru.
Bus delegasi Indonesia tiba di halaman parkir Museum Zwinger, tepat pukul 10.30, pada 5 April 1995. Presiden Suharto, beserta istrinya Siti Hartinah, didampingi menteri-menterinya seperti B.J Habibie dan Ali Alatas, berjalan menuju pintu museum. Suharto datang ke museum itu dalam rangka menyaksikan lukisan Raden Saleh, seniman kenamaan Hindia Belanda. Tur ke museum di jantung kota tua Dresden tersebut adalah rangkaian lawatan ke Jerman lebih dari sepekan, mencari potensi investasi dan mempererat hubungan kedua negara.
Jalan setapak sekira 100 meter, melewati jembatan kecil, sebelum masuk area museum. Ada belasan polisi Jerman dari Negara Bagian Sachsen mengamankan rombongan Suharto.
Nampak di gerbang Kronentor—sebutan pintu masuk gedung museum—siang itu, kerumunan nyaris 200 orang. Mayoritas anak muda warga negara Jerman. Tapi mereka sama sekali tak berniat ramah tamah bersama rombongan tamu negara. Massa itu hanya memiliki satu misi utama: mempermalukan presiden dari negara yang dianggap menjajah serta bertanggung jawab atas pembantaian rakyat Timor Timur. "Demonya orang-orang Jerman waktu itu lihai. Enggak ketahuan mau ada demo. Yang kelihatan cuma turis melulu," kata Pipit Kartawidjaja, pengelola jaringan media alternatif Watch Indonesia yang saat terjadi demonstrasi Dresden bermukim di Jerman.
Dalam sepersekian detik, jarak 100 meter tadi berubah jadi neraka bagi delegasi Indonesia. Ratusan orang tadi menggelar demonstrasi dadakan. Belasan aktivis membentangkan spanduk kecaman terhadap kebijakan Indonesia di Timor Timur, ada yang memaki Suharto, tak sedikit pula yang mengeluarkan panci dan spatula dari tas masing-masing untuk menciptakan kegaduhan. Sebagian lagi sulit menahan diri, memilih melemparkan telur yang sudah dibawa dari rumah ke arah orang nomor satu Indonesia. Pasukan Pengaman Presiden kelabakan. Payung segera dikembangkan demi melindungi Suharto, ibu negara, dan menteri-menterinya dari terjangan telur, seperti diberitakan surat kabar Dresdner Morgenpost.
Demonstran memperlakukan rombongan Suharto, dalam keterangan beberapa saksi mata yang diceritakan ulang kepada aktivis pro-demokrasi Indonesia lainnya, “persis seperti kami di kampung mengusir ayam."
Luciano, bersama Vitor Tavarez dan Jose Manuel—ketiganya aktivis belia kelompok pembebasan Timor Timur—ada di tengah massa demonstran. “Rekan-rekan demonstran dari Jerman itu sebelumnya sudah saya briefing sebelum sampai di museum,” ujarnya. “[Rombongan Suharto] seperti anak kecil dicemooh.”
Letnan Jenderal (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin adalah pengawal Suharto saat terjadinya insiden Dresden. Sebagai komandan Paspampres Regu A kala itu, dia sebetulnya mendengar adanya rencana demonstrasi yang dimotori aktivis pembebasan Timor Leste. Namun dalam kunjungan ke Museum Zwinger, pengawal Presiden Suharto kalah jumlah dibanding demonstran.
“Aparat keamanan Jerman kaget, namun tidak berbuat apa-apa,” kenang Sjafrie, seperti dikutip dari buku Pak Harto: The Untold Stories. Rombongan Indonesia sulit bergerak maju, karena massa demonstran menghalang-halangi jalan mereka. VICE menghubungi Sjafrie untuk mendapat informasi pembanding terkait peristiwa Dresden, di luar pengakuannya melalui buku, namun belum ada balasan hingga artikel ini dilansir.
Menjelang berakhirnya hiruk pikuk di pintu masuk museum yang berlangsung nyaris setengah jam, Luciano memperoleh kesempatan sekali seumur hidup. Dia sukses menyejajari langkah Presiden Suharto. "Pasukan pengawal presiden kehilangan fokus," kata Luciano. Jarak mereka hanya dua meter. Sjafrie menyadari bahaya itu selama berada di sisi kanan Suharto. Dia melihat satu demonstran—yakni Luciano—sudah terlalu dekat dari presiden. Namun ketika mencoba menghalau, seingat Luciano, Sjafrie justru terhalang gerak polisi Jerman.
“Tangan kiri saya memegang koran, sementara tangan satunya lagi memegang megafon,” kata Luciano. Dalam hitungan detik, Luciano tinggal sedepa saja dari Suharto. Lalu terjadilah insiden penggebukan tanpa rencana yang kesohor tadi. Gulungan koran Luciano menyambar belakang kepala Suharto. Cukup keras namun tak sampai menjatuhkan pecinya.
Luciano pasrah jika dia diseret paksa paspampres ataupun polisi setelah berbuat nekat. "Saya tahu risikonya,” ujarnya.
Rupanya tak terjadi apa-apa. Rombongan Presiden Suharto meneruskan masuk museum. Ketika Suharto berhasil masuk ke dalam gedung, satu anggota pasmpampres mendekati Luciano. Dia bisa berbahasa Tetum, bahasa asli penduduk Timor Leste. “Dia bilang kepada saya, 'anak sudahlah, yang sudah kalian lakukan tidak perlu dilanjutkan lagi’,” kata Luciano menirukan ucapan paspampres tersebut.
Rombongan Suharto berada dalam museum selama 45 menit. Demonstran, bersama Luciano dan dua kawan aktivis Timor Leste lainnya, tetap di luar meneruskan aksi, dengan harapan bisa kembali menyergap Suharto sesudah kunjungan. Sjafrie berinsiatif memindah Suharto dan istri ke mobil biasa, lewat pintu samping. Sementara menteri dan anggota rombongan lain naik bus.
Sjafrie ingat, Suharto aman dari upaya penghadangan kedua kalinya sepulang dari museum. Nasib nahas dialami rombongan menteri yang naik bus. “Demonstran sudah menghadang [bus] dengan berbaring di tengah jalan,” kata Sjafrie.
Bus yang ditumpangi Menteri Luar Negeri Ali Alatas itu terhenti dekat sungai, lantas diguncang-guncangkan demonstran. “Kami berusaha mendorong bus mendekati sungai,” kata Luciano. Polisi Jerman datang, menghalau para pengunjuk rasa. Aksi mereka di Dresden akhirnya bubar. Dalam momen kalut itulah, salah satu demonstran merekam foto Ali Alatas mengacungkan jari tengah.
Kunjungan selingan ke museum yang seharusnya menyenangkan bagi Suharto hari itu kacau balau. Dia membatalkan jadwal menonton opera di malam harinya. Sebenarnya lawatan presiden selama di Jerman tak pernah berlangsung mulus. Berdasarkan catatan Watch Indonesia, selalu ada unjuk rasa di semua kota yang disambangi Suharto. Baik itu Hannover, Dusseldorf, maupun Dresden.
Suharto pulang ke Tanah Air pada 13 April. Di pesawat kepresidenan, di hadapan wartawan, dia menyebut demonstrasi berbagai kota di Jerman dilakukan orang-orang yang “tidak rasional, edan, dan sinting.”
Suharto menduga ada warga negara Indonesia yang menjadi provokator unjuk rasa mengajak LSM internasional. Dia menyebut mereka, “menjual bangsa.” Dalam konferensi pers itu pula, Suharto mengancam ‘gebuk’ pada lawan-lawan politik yang disebutnya menunggangi aksi Dresden.
Unjuk rasa Dresden itu makan korban. Komandan Paspampres Brigadir Jenderal TNI Jasril Jakub langsung dicopot dari jabatannya karena dianggap gagal menangkal gangguan keamanan terhadap presiden.
Tak lama kemudian, aparat menahan Sri Bintang Pamungkas, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bertepatan dengan lawatan Suharto, Sri Bintang mengisi rangkaian kuliah umum di kampus-kampus Jerman. Sri Bintang dicokok polisi beberapa menit sesudah menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta. Empat bulan kemudian, dia diadili atas dugaan upaya makar.
Sri Bintang, dalam wawancara khusus dengan CNN Indonesia, merasa jadi kambing hitam sesudah insiden Dresden. “Suharto marah ketika dia pulang dari Jerman,” ujarnya. “Suharto mengira saya akan mengkudeta."
Luciano memastikan Sri Bintang Pamungkas tak terlibat dalam insiden Dresden. “Kami melakukan kontak dengan mantan aktivis Jerman timur untuk bisa melakukan demonstrasi. Tidak ada sama sekali komunitas orang Indonesia di Jerman yang terlibat,” ujarnya.
Sri Bintang dalam persidangan berhasil mendatangkan saksi-saksi meringankan. Namun jaksa tetap menjeratnya dengan pasal makar, lantaran saat ceramah di Hannover menyebut pemerintahan Suharto tidak demokratis. Sri Bintang divonis penjara dua tahun 10 bulan. Baru pada 2006, setelah mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, dia dinyatakan tak bersalah atas tuduhan makar dan menggalang demonstrasi di Dresden.
Luciano lahir 44 tahun lalu di Irara, berjarak 248 kilometer dari Ibu Kota Dili, Timor Leste. Usianya belum genap dua tahun ketika militer Indonesia melancarkan invasi ke Timor Timur. Suharto mengirim tentara dengan dalih menuruti permintaan Perkumpulan Kerakyatan Demokratis Timor (Apodeti) yang pada 1974 menginginkan integrasi bekas koloni Portugal itu dengan Indonesia. Tak semua elemen politik Timor Leste sepakat. FRETILIN, salah satu kekuatan politik besar lainnya, menginginkan kemerdekaan.
Dalam pertempuran tak seimbang yang dikenang sebagai Operasi Seroja, militer Indonesia menghabisi para pendukung FRETILIN dalam hitungan bulan. Timor Timur menjadi provinsi ke-27 Republik Indonesia. Selama 27 tahun pendudukan Indonesia, diperkirakan 180 ribu warga sipil Timor Timur tewas. Sebanyak 19 ribu orang di antaranya menjadi korban pembantaian sistematis ataupun dihilangkan paksa.
Orang tua Luciano termasuk pendukung FRETILIN. Dia dibawa lari ke hutan di perbukitan dekat Los Palos, kota berjarak 1,4 kilometer dari kampungnya. Luciano kecil makan seadanya selama di hutan, belajar bertahan hidup. Empat tahun setelah operasi besar-besaran pada 1975, ayah-ibu Luciano terbunuh dalam penyergapan di hutan. “Orang tua saya tewas bersama dengan banyak keluarga lainnya dari kampung,” ujarnya.
Luciano kecil lantas diasuh oleh saudara jauh. Dia mendendam pada Republik Indonesia. “Sudah menjadi kewajiban kami untuk berjuang,” ujarnya. Dia bersekolah di Dili, masuk ke sekolah yang saat itu dikelola pemerintah Indonesia. Selama sekolah dasar hingga kuliah, Luciano bergabung dengan sel FRETILIN. Dia masuk perguruan tinggi di Jakarta Timur, tinggal bertahun-tahun di kawasan Kampung Melayu. Pada 1994, Luciano bersama 28 mahasiswa lain terlibat dalam pendudukan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta saat berlangsung lawatan Presiden Bill Clinton. Demonstran mengampanyekan pembebasan Timor Timur sekaligus menuntut Amerika menekan Indonesia agar bertanggung jawab atas pembantaian massal yang dilakukan tentara terhadap warga sipil di Santa Cruz pada 1991.
Akibat aksi nekat di Kedubes AS, Luciano dan tiga kawan lainnya diburu aparat. Mereka mendapat suaka dari Portugal akhir 1994. Sebulan sebelum rombongan Suharto melawat ke Jerman, Luciano berangkat dari Lisbon menuju Dresden memakai bendera organisasi pemuda Timor und Kein Trupp.
Selain menjalin kontak dengan aktivis pelajar Jerman, tiga anak muda Timor Leste itu sekaligus mendatangi parlemen Dresden dan kepolisian setempat. Hasil lobi itulah, seperti dilaporkan Watch Indonesia, menghasilkan sikap parlemen kota pada 30 Maret yang menyatakan rombongan Suharto “tidak diterima di Dresden."
Dukungan dari polisi jugalah yang membuat demonstrasi di Museum Zwinger berlangsung tanpa hambatan. “Walikota Dresden dan kepala polisi setempat menyatakan, 'kalian kami lindungi agar bisa mendekati rombongan presiden Indonesia,” kenang Luciano.
Sisanya adalah sejarah.
Insiden Dresden memiliki makna simbolis kuat, menurut Made Supriatma, peneliti independen sekaligus mahasiswa doktoral yang kini bermukim di Amerika Serikat. Made, pada saat terjadinya demonstrasi Dresden masih berstatus mahasiswa dan aktivis oposisi Orde Baru di Yogyakarta, ingat betul ada kemarahan tak biasa dari respons Suharto setelah kena gebuk demonstran. Orang kuat Orde Baru itu untuk pertama kalinya mengucapkan diksi “gebuk” secara terbuka di hadapan pers Indonesia yang mengikutinya ke Jerman.
Suharto secara simbolis memosisikan dirinya sebagai raja Jawa di era modern. Bagi raja, kepala—dibahasakan sebagai prabu—adalah harta tak ternilai. Tindakan nekat Luciano, menurut Made, adalah penghinaan terbesar. "Seorang raja Jawa itu tahunya kalau ada yang mengganggu akan saya sikat," kata Made kepada VICE.
Kabar insiden Dresden segera sampai ke telinga aktivis pro-demokrasi di Indonesia kurang dari 12 jam setelah kejadian. Info tersebar, kombinasi kesaksian WNI di Jerman maupun pemberitaan setempat, berkat jaringan email (milis) macam apakabar.net. Berbeda dari demonstrasi lainnya, insiden Dresden seingat Made memicu ketakutan sekaligus kegairahan besar bagi aktivis anti Orde Baru. Sebab, untuk pertama kalinya Suharto marah secara terbuka. Di sisi lain, sikap Suharto yang emosional justru ditafsirkan sebagai tanda rezim mulai melemah.
"Reaksi dia pertama kali setelah kena gebuk di Dresden justru tidak menghantam Timor Leste, padahal kalau dia marah, bisa saja waktu itu yang pertama kali dia lakukan ketika merasa dihina adalah membom [Timor Leste]. Tapi itu tidak dia lakukan," ungkap Made. "Untuk pertama kali Suharto mengancam orang yang tidak dia sukai, dan ngomong terbuka lewat media. Itu membuat kita semua bertanya-tanya."
Rezim Orde Baru sebelumnya berhasil memadamkan upaya 'pemberontakan' dari berbagai kalangan, baik itu Islamis hingga yang prodemokrasi. Rezim militeristis itu juga sukses melakukan pelanggaran HAM berat, lewat tragedi Talangsari atau pembantaian umat muslim di Tanjung Priok, tanpa adanya tekanan internasional. Berkat aksi nekat Luciano dkk, yang berhasil mempermalukan sedemikian rupa Suharto tapi tak memicu balasan serius, para aktivis di dalam negeri sadar soliditas rezim mulai melemah. "Saya ingat, pada 1995 itu, saya berdiskusi dengan kawan mahasiswa lain. Kami berpikir, 'wah kalau [aktivis Timor Leste] bisa, berarti ini peluang," kata Made.
Dresden terjadi berselang setahun setelah pembredelan tiga media massa oleh rezim yang mengkritik pembelian kapal bekas dari Jerman. Kasak-kusuk mulai menyebar dari pembredelan tersebut, menurut Made, karena keinginan menutup media-media yang kritis hanya datang dari satu faksi militer. Artinya tentara tak sepenuhnya solid mendukung Suharto. Ketidakpuasan masyarakat atas sensor dan pengekangan pendapat oleh aparat negara semakin terakumulasi.

Para aktivis di Dresden yang mengusung isu pembebasan Timor Leste menjadi katup pertama yang terbuka, karena isu ini mendapat dukungan luas internasional. Invasi pada 1974-1975 adalah "kerikil diplomasi" Indonesia. Komisi Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut kebijakan Suharto mengirim tentara dan menjadikan Timor Leste provinsi baru sebagai "aneksasi." Militer maupun diplomat Indonesia waktu itu tak sanggup menampik citra sebagai pelanggar hak asasi.
"Posisi Indonesia di Timor Leste saat itu tentara pendudukan. Susah, karena anda bisa memenangkan pertempuran tapi tidak bisa menang perang. Lihat saja Amerika Serikat di Vietnam, atau di Afghanistan," kata Made.
Kepercayaan diri aktivis prodemokrasi makin menguat berkat kesuksesan demonstrasi Dresden. Setelah mendengar kabar dari Dresden, Made ingat anggota Partai Demokrasi Indonesia, dipimpin Megawati Soekarnoputri, bertambah berani mengkritik Orde Baru. Pada 1996 kantor pusat PDI diserang tentara, berujung pada kerusuhan di berbagai wilayah Jakarta. Lima orang tewas, ratusan lainnya luka-luka. Insiden ini kelak disebut Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau Kudatuli.
"Dampak [Insiden Dresden] awalnya lebih terasa di aktivis, menjalar ke berbagai lapisan lain. Dari intelektual, aktivis, wartawan, akademisi, terus kemudian lapisan kedua orang-orang lama partai," kata Made. Para aktivis semakin percaya bila rezim sudah mendekati senjakalanya. Keyakinan mereka terbukti. Orde Baru tumbang secara simbolis, setelah Suharto mundur pada 21 Mei 1998. Hanya tiga tahun sesudah terjadinya demonstrasi yang digalang anak-anak muda di Dresden.
Kemerdekaan itu tercapai tiga tahun dari jajak pendapat bersejarah 1999—ketika 78,5 persen penduduk Timor Timur memilih berpisah dari Republik Indonesia. Setelah cita-cita perjuangan tercapai, Luciano tinggal di Dili bersama istri dan tiga anaknya. Hidupnya jauh lebih tenang, gemar melucu, dan seringkali tertawa saat ngobrol bersama VICE. Namun takdir membuatnya terus menjadi oposisi penguasa, bahkan setelah Timor Leste resmi merdeka. Luciano mendirikan partai dan menjadi lawan politik Presiden Fransisco Guterres yang kini berkuasa dari Partai FRETILIN.
Sesudah Timor Leste merdeka, Luciano sempat bertemu mendiang Ali Alatas di Ibu Kota Colombo, Sri Lanka, pada 2004. Diplomat kesohor Indonesia yang di Dresden nyaris dia gulingkan masuk sungai. Tak lagi ada ketegangan di antara keduanya. "Kami ketemu di bandara, saling menyapa."
Luciano tidak menyangka tindakan nekatnya di Dresden dulu akan memicu rentetan peristiwa besar lain yang mengubah Indonesia selama-lamanya. Luciano mengaku tidak bangga dengan keberhasilannya mempermalukan rombongan Suharto. Itu baginya hanya kemenangan kecil yang tak berarti. “Puluhan ribu saudara sebangsa saya dibantai militer Indonesia," ujarnya. "Tapi itulah harga yang harus dibayar. Di dunia ini tidak ada kemerdekaan gratis. Kita harus berjuang."

 

Mari Hamud Alkatiri (Mari Bim Amude Alkatiri)

Moris iha Dili, Lurumata - Comoro iha loron 26 Fulan Novembro tinan 1949.
Estuda iha Dili to hotu Liceu iha Liceu Dr. Francisco Machado.
Kontinua Estuda Kurso Agrimensura iha Instituto de Cartografia, Luanda, Angola 1970- 1972.
Ikus mai Estuda Direito iha Universidade Eduardo Mondlane, Moçambique.

Fundador ASDT no Fundador FRETILIN iha 1974.
Fundador FALINTIL iha 1975.
Fundador RDTL iha 1975.
Coordenador Comissão neb'e hakerek Constituição RDTL iha Novembro 1975.
Autor texto Proclamasaun Independência iha 1975.
Iha 1975 eleito ba Komisáriu Polítiku Nasionáll no iha Primeiro Governu nomeado no hetan pose hanesan Ministro de Estado para Assuntos Politicos.
Kumpri desizaun husi CCF no Primeiro Ministru Nicolau Lobato no Governu sai ba rai liur atu hahu harii Frente Diplomatica iha loron 4 Dezembro 1975.
Iha 2001 sai hanesan Deputado Assembleia Constituinte atu hakerek no aprova Kostituisaun RDTL foun.
Sai mos hanesan Ministro-Chefe no depois Restaurasaun Independensia lori knar hanesan Primeiro-Ministro iha 20 de Maio 2002 to 26 de Juñu 2006.
Iha Partidu lori knar hanesa SG FRETILIN husi 2001 to ohin loro

Mari Hamud Alkatiri (Mari Bim Amude Alkatiri)
Moris iha Dili, Lurumata - Comoro iha loron 26 Fulan Novembro tinan 1949.
Estuda iha Dili to hotu Liceu iha Liceu Dr. Francisco Machado.
Kontinua Estuda Kurso Agrimensura iha Instituto de Cartografia, Luanda, Angola 1970- 1972.
Ikus mai Estuda Direito iha Universidade Eduardo Mondlane, Moçambique.

Fundador ASDT no Fundador FRETILIN iha 1974.
Fundador FALINTIL iha 1975.
Fundador RDTL iha 1975.
Coordenador Comissão neb'e hakerek Constituição RDTL iha Novembro 1975.
Autor texto Proclamasaun Independência iha 1975.
Iha 1975 eleito ba Komisáriu Polítiku Nasionáll no iha Primeiro Governu nomeado no hetan pose hanesan Ministro de Estado para Assuntos Politicos.
Kumpri desizaun husi CCF no Primeiro Ministru Nicolau Lobato no Governu sai ba rai liur atu hahu harii Frente Diplomatica iha loron 4 Dezembro 1975.
Iha 2001 sai hanesan Deputado Assembleia Constituinte atu hakerek no aprova Kostituisaun RDTL foun.
Sai mos hanesan Ministro-Chefe no depois Restaurasaun Independensia lori knar hanesan Primeiro-Ministro iha 20 de Maio 2002 to 26 de Juñu 2006.
Iha Partidu lori knar hanesan SG FRETILIN husi 2001 to ohin loron