I. PENDAHULUAN
Mendengar kata
Rock Climbing (panjat tebing), kita seperti
dikenalkan pada suatu jenis olahraga baru. Benarkah kita belum mengenalnya? Barangkali
kita masih ingat masa kecil dulu, alangkah gembiranya kita bermain, memanjat
tembok, pohon-pohon, atau batu-batu besar, di mana kita tidak memikirkan resiko
jatuh dan terluka, yang ada adalah rasa gembira. Sebenarnya kegiatan
Rock
Climbing tidak jauh dari itu, cuma kali ini kita sudah memilih medan
tertentu dengan memikirkan resikonya.
Pada dasarnya
Rock Climbing adalah bagian dari kegiatan mendaki
gunung, suatu perjalanan petualangan ke tempat-tempat yang tinggi, hanya di
sini kita menghadapi medan yang khusus. Dengan membedakan daerah atau medan
yang dilalui, Mountaineering dapat dibagi menjadi : Hill Walking,
Rock
Climbing dan Ice/Snow Climbing. Hill Walking merupakan perjalanan biasa
melewati serangkaian hutan dan perbukitan dengan berbekal pengetahuan
peta/kompas dan survival. Kekuatan kaki menjadi faktor utama suksesnya suatu
perjalanan. Untuk
Rock Climbing, medan yang dihadapi berupa perbukitan
atau tebing di mana sudah diperlukan bantuan tangan untuk menjaga keseimbangan
tubuh atau untuk menambah ketinggian. Ice/Snow Climbing hampir sama seperti
halnya dengan
Rock Climbing, namun medan yang dihadapi adalah
perbukitan atau tebing es/salju .
Kadang-kadang akan timbul pertanyaan pada kita, seperti ini : Kenapa sih
naik gunung? George L. Mallory (pendaki Inggris) menjawab pertanyaan ini dengan
mengatakan,
Because it’s there.. Lalu pertanyaan lain, Apa yang kau
dapatkan di sana ? Seorang pendaki akbar, Reinhold Messner berkata :
The
mountains tell you, quite ruthlessly, who you are, and what you are.
Mountaineering is a game where you can’t cheat …, more than that, what’s
important is your determination cool nerves, and knowing how to make the right
choice.
Olahraga seperti ini adalah nikmat, dan barangkali sedikit egois. Segala
kenikmatan pada saat kita menyelesaikan sebuah medan sulit adalah milik kita
sendiri, tidak ada sorak sorai, apalagi kalungan medali. Sebaliknya, adanya
kecelakaan dalam suatu pendakian adalah karena kelalaian kita sendiri, kurang
hati-hati dan kurang memperhitungkan kemampuan diri. Banyak pendaki yang
melakukan turun tebing (
rappeling / abseiling) dengan melompat dan
sangat cepat, ini sangat berbahaya. Untuk kita, sebaiknya menganggap kegiatan
panjat tebing sebagai hobi, seperti hobi-hobi lainnya. Sebagai gambaran bisa
kita simak perkataan Walter Bonatti, seorang pendaki kawakan dari Italia, saat
melakukakn pendakian solo pada dinding yang mengerikan di Swiss. Ketika ia
sedang menghadapi kesulitan melewati overhang (dinding menggantung dengan
kemiringan > 90 derajat), sebuah pesawat mengitarinya yang rupanya
mencarinya. Kehadiran pesawat menekan kesendiriannya : “ Siapa yang mengatakan
bahwa mereka melihatku ?, aku berfikir dan merasa bahwa pesawat tersebut adalah
bagian dariku, yang kini meninggalkan dan merobek hatiku. Aku mulai sadar bahwa
aku lebih suka jika terdapat kesunyian yang mutlak. Semua yang terjadi dalam
waktu singkat tadi seakan-akan merupakan usaha akhir untuk menghubungkan diriku
dengan kehidupan yang tidak mempunyai arti lagi bagiku. Pesawat itu
berputar-putar kemudian meninggalkan diriku seperti mati.”
Akhirnya, marilah kita mencoba lebih mengenal panjat tebing yang nikmat itu.
Pada tulisan ini, pembicaraan hanya terbatas pada pembahasan panjat tebing,
dengan tidak mengecilkan yang lain, Hill Walking dan Ice/Snow Climbing.
II. KLASIFIKASI PANJAT TEBING
Dalam panjat tebing terdapat 2 klasifikasi pembedaan, yaitu :
1. Pembedaan yang pertama adalah antara Free Climbing dengan Artificial
Climbing.Free Climbing adalah suatu tipe pemanjatan di mana si pemanjat menambah
ketinggian dengan menggunakan kemampuan dirinya sendiri, tidak dengan bantuan
alat. Dalam Free Climbing, alat digunakan hanya sebatas pengaman, bukan sebagai
alat untuk menambah ketinggian. Bedanya dengan Artificial Climbing, di mana
alat selain digunakan sebagai pengaman, juga berfungsi untuk menambah
ketinggian.
2. Pembedaan yang kedua adalah antara Sport Climbing dengan Adventure
Climbing.Sport Climbing adalah suatu pemanjatan yang lebih menekankan pada
faktor olahraganya. Dalam Sport Climbing, pemanjatan dipandang seperti halnya
olahraga yang lain, yaitu untuk menjaga kesehatan. Sedangkan pada Adventure
Climbing, yang ditekankan adalah lebih pada nilai petualangannya.
III. KELAS DAN GRADE DALAM PANJAT TEBING
Kelas Seperti dalam olahraga lainnya, seseorang atlit dapat
diukur kemampuannya pada suatu tingkat pertandingan. Pemain catur dengan
elorating dibawah 2000 tidak akan dapat mengikuti turnamen tingkat Gand Master.
Dalam panjat tebing terdapat klasifikasi tebing berdasarkan tingkat
kesulitannya, dengan demikian kita dapat mengukur sampai di mana kemampuan
kita. Kelas yang dibuat oleh Sierra Club adalah :
Kelas 1:Cross Country Hiking Perjalanan biasa tanpa
membutuhkan bantuan tangan untuk mendaki / menambah ketinggian.
Kelas 2:Scrambling Sedikit dengan bantuan tangan, tanpa
tali.
Kelas 3:Easy Climbing Secara scrambling dengan bantuan ,
dasar teknik mendaki (climbing) sangat membantu, untuk pendaki yang kurang
pengalaman dapat menggunakan tali.
Kelas 4:Rope Climbing with belaying Belay (pengaman)
dipasang pada anchor (titik tambat) alamiah atau buatan,berfungsi sebagai
pengaman.
Kelas 5 Kelas ini dibagi menjadi 11 tingkatan (5.1 sampai
5.14), di mana semakin tinggi angka di belakang angka 5, berarti semakin tinggi
tingkat kesulitan tebing. Pada kelas ini, runners dipakai sebagai pengaman.
Kelas A Untuk menambah ketinggian, seseorang pendaki harus
menggunakan alat. Dibagi menjadi lima tingkatan (A1 sampai A5). Contoh : Pada
tebing kelas 5.4 tidak dapat dilewati tanpa bantuan alat A2, tingkat kesulitan
tebing menjadi 5.4 – A2.
Grade Merupakan ukuran banyaknya teknik pendakian yang
diperlukan. Faktor rute yang sulit dan cuaca buruk dapat menambah bobot grade
menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, tebing kelas 5.7 yang rendah dan dekat
dengan jalan raya, mungkin akan mempunyai grade I (satu). Pembagian grade
adalah sebagai berikut.
tabel 1. pembagian grade
IV. ETIKA DAN GAYA DALAM PANJAT TEBING
A.ETIKA
Menurut KUBI, etika berarti nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat. Pelanggaran terhadap suatu nilai biasanya tak akan
mendapatkan sanksi yang legal. Dan antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lain sering kali mempunyai etika yang berbeda terhadap suatu hal yang sama.
Di antara masyarakat pemanjat, juga terdapat etika yang kerap berbenturan.
Suatu contoh adalah ketika Ron Kauk membuat suatu jalur dengan teknik rap
bolting di kawasan Taman Nasional Lembah Yosemite, Amerika Serikat. Kawasan
pemanjatan ini terkenal sebagai kawasan pemanjat tradisional dan mempunyai
peraturan konservasi alam yang ketat. Pembuatan jalur dengan cara demikian tak
dapat dibenarkan oleh para pemanjat tradisional di kawasan ini, di antaranya
adalah John Bachar. Bachar menganggap bahwa semua jalur yang ada di Yosemite
harus dibuat dengan cara tradisional, yaitu sambil memanjat (leading). Kasus
ini menjadi besar karena sampai menimbulkan perkelahian di antara kedua
pemanjat yang berlainan aliran itu. Kasus tersebut menggambarkan bagaimana
etika sering menimbulkan perdebatan. Kasus ini hanya salah satu dari berbagai
masalah yang kerap timbul di sekitar pembuatan jalur.
Sebetulnya ruang lingkup etika dalam panjat tebing terdiri dari :
Masalah teknik pembuatan jalur Secara umum ada dua aliran
teknik pembuatan jalur yang dewasa ini banyak dianut, yaitu aliran tradisional
dan aliran modern. Pembuatan jalur secara tradisional pada prinsipnya adalah
membuat jalur sambil memanjat. Teknik ini cenderung bernilai petualangan karena
lintasan yang akan dilewati sama sekali baru, tanpa pengaman, tanpa dicoba
terlebih dahulu. Teknik tradisional ini berkembang di Eropa sampai tahun 70-an,
namun kini masih dianut oleh pemanjat tradisional Amerika. Sementara itu
pembuatan jalur secara modern terdiri dari dua cara yang banyak digunakan. Cara
pertama adalah dengan teknik tali tetap (fix rope technique). Pada teknik ini,
pembuatan jalur dapat dilakukan dengan cara rappeling bolting atau ascending
bolting pada fix rope yang telah terpasang terlebih dahulu. Cara kedua mirip
dengan cara pertama, tetapi tidak dengan tali tetap melainkan menggunakan top
rope. Kelebihan cara ini, pembuat jalur dapat membuat perencanaan arah jalur
dan penempatan pengaman lebih presisi karena gerakan pemanjatan dapat diketahui
terlebih dahulu.
Masalah penamaan jalur Siapa yang berhak memberi nama pada
suatu jalur, si pembuat jalur atau pemanjat pertama yang menuntaskan jalur,
juga tidak ada aturannya. Biasanya si pembuat jalur bersikeras untuk menjadi
orang pertama yang menuntaskan jalur tersebut. Kadang-kadang mencapai waktu
berbulan-bulan untuk membuat sekaligus menuntaskan suatu jalur baru. Tapi ada
kalanya jalur yang dibuat terlalu sulit dan jauh di luar kemampuan si pembuat
jalur itu. Di Indonesia biasanya nama jalur merupakan suatu kesepakatan saja
dari seorang atau sekelompok pembuat jalur.
Masalah keaslian jalur Masalah keaslian jalur biasanya
dikaitkan dengan banyaknya jumlah pengaman tetap yang ada dalam jalur tersebut.
Suatu jalur, misalnya dengan jumlah bolt sebanyak 7 buah akan tetap 7 dan tak
boleh bertambah atau berkurang lagi karena dalam kode etiknya, ini sudah resmi
menjadi sebuah jalur. Yang menjadi masalah, apakah suatu jalur dengan jarak
antar bolt yang sangat jauh tak dapat ditambah dalam batas-batas yang wajar?
Juga sebaliknya, apakah jalur yang jarak antar boltnya terlalu rapat tak dapat
dikurangi? Tradisi di Yosemite, bila seseorang berhasil memanjat suatu jalur
yang cukup mudah, katakanlah setinggi 15 meter, dengan hanya 2 bolt saja, hal
ini berlaku bagi semua pemanjat yang akan menggunakan jalur tersebut tanpa
penambahan bolt lagi. Tradisi ini memang mendapat protes dari banyak pemanjat
pemula yang merasa sanggup menuntaskan jalur tersebut, namun tak mau mengambil
resiko dengan hanya menggunakan 2 bolt saja. Contoh lain adalah jika seseorang
pemanjat merasa suatu jalur dengan jumlah bolt yang wajar terlalu mudah,
berhakkah ia mengurangi jumlah bolt yang ada? Sampai sejauh mana kita bisa
menghargai prinsip pemanjatan pertama? (sampai yang paling ekstrim)
Pengubahan bentuk permukaan tebing Untuk masalah yang satu
ini, hampir semua pemanjat sepakat bahwa hal itu haram untuk dilakukan, baik
itu menambah kesulitan maupun membuat jalur tersebut menjadi lebih mudah.
Walaupun begitu sebagian kecil dari seluruh kawasan pemanjatan yang ada (hanya
sebagian kecil) yang menerima hal ini, namun hanya pada permukaan yang tanpa
cacat sama sekali (blank/no holds) agar kesinambungan jalur sebelum dan
sesudahnya dapat terjaga.
B. GAYA
Pengertian gaya didalam panjat tebing menyangkut metode dan peralatan serta
derajat petualangan dalam suatu pendakian. Petualangan berarti tingkat
ketidakpastian hasil yang akan dicapai.
Gaya harus sesuai dengan pendakian. Gaya yang berlebihan untuk tebing yang
kecil, sebaik apapun gaya tersebut akhirnya menjadi gaya yang buruk. Mendaki
secara alamiah dengan bantuan teknis terbatas adalah gaya yang baik. Kita harus
bekerja sama denga tebing, jangan memaksanya. Kita dapat menggunakan
point-point alamiah seperti batu, tanduk (horn), pohon, atau pada batu yang
terjepit didalam celah (Chockstone). Akhirnya kita sampai pada pendakian sendiri,
tanpa menggunakan tali, Maksudnya adalah menyesuaikan gaya dengan pendakian dan
kemampuan diri. Gaya yang baik adalah persesuaian yang sempurna – penapakan
dari dua sisi yang baik antara ambisi dan kemampuan.
Tidak ada pendakian yang sama. Standar yang baik selalu dapat diterapkan dan
juga memungkinkan penyelesaian menjadi kepribadian masing-masing rute. Itulah
prinsip pendakian pertama kita tadi. Prinsip tersebut dapat membimbing kita
dalam masalah gaya dan etika. Kita telah memiliki standar minimum yang telah
siap dan tersedia untuk dijadikan sasaran. Penerimaan terhadap prinsip ini
memungkinkan kita untuk meniadakan pertentangan pendapat tentang gaya umum.
Keuntungan lain adalah gaya dari pendakian pertama adalah gaya yang layak, dan
memberikan keuntungan psikologis kepada pendaki-pendaki berikutnya bahwa rute
tersebut, paling tidak, pernah dicoba. Dengan menghargai orang-orang yang
menyelesaikannya, dan memperlihatkan bahwa kita paham akan nilainya, serta
menganggap pendakian mereka sebagai suatu hasil karya, maka pendakian meraka
bukanlah sesuatu yang harus dikalahkan.
Dalam bukunya How to Rock Climb: Face Climbing, John Long menguraikan dan
membuat klasifikasi yang lebih sempit mengenai beberapa gaya yang ada, di
antaranya adalah :
Onsight Free Solo Istilah onsight berarti memanjat suatu
jalur tanpa pernah mencoba dan juga belum pernah melihat orang lain memanjat
dijalur tersebut. Jadi jalur tersebut dipanjat tanpa informasi apa-apa.
Sedangkan solo berarti tanpa tali. Jadi onsight free solo berarti pemanjatan
tali untuk pertama kali bagi seorang pemanjat tanpa informasi apa-apa.
Free Solo Pemanjatan suatu jalur tanpa menggunakan tali,
tapi pernah mencoba walaupun belum hapal benar jalur tersebut.
Worked Solo Pemanjatan tanpa tali dengan sebelumnya pernah
mencoba berkali-kali sampai benar-benar hapal mati seluruh bentuk permukaan
tebing.
Onsight Flash / Vue Memanjat suatu jalur tanpa pernah
mencobanya, melihat pemanjat lain dijalur yang sama, juga tak pernah mendapat
informasi apa-apa. Memanjat dengan menggunakan tali sebagai perintis jalur
(leader) dan memasangpengaman (running belay). Pemanjat juga tidak sekalipun
jatuh dan tidak mengambil nafas/istirahat disepanjang jalur.
Beta Flash Pemanjatan tanpa mencoba dan melihat orang lain
memanjat dijalur tersebut, namun telah mendapat informasi tentang jalur dan
bagian-bagian sulitnya (crux). Pemanjat kemudian memanjatnya tanpa jatuh dan
tanpa istirahat sepanjang jalur.
Déjà vu Seorang pemanjat sudah pernah memanjat suatu jalur
sekian tahun sebelumnya dan gagal menuntaskannya. Setelah sekian tahun itu,
dengan kemampuan memanjat yang lebih baik , ia kembali dengan hanya sedikit
ingatan tentang jalur tersebut dan berhasil menuntaskan jalur pada percobaan
pertama.
Red Point Memanjat suatu jalur yang telah dipelajari dengan
sangat baik, tanpa jatuh dan memanjat sambil memasang pengaman sebagai perintis
jalur.
Pink Point Sama dengan red point hanya semua pengaman telah
dipasang pada tempatnya.
Brown Point Ada beberapa macam untuk kategori ini, misalnya
seorang pemanjat merintis suatu jalur, lalu jatuh dan menarik tali, kemudian
meneruskan pemanjatan dari titik pengaman terakhir ia jatuh (hangdogging).
Pemanjatan dengan top rope juga termasuk dalam kategori ini. Lalu ada lagi
pemanjatan dengan bor pertama dipasang terlebih dahulu. Sebenarnya masih banyak
lagi yang masuk dalam kategori ini. Seluruh kategori ini menceritakan berbagai
taktik, strategi, atau trik untuk mempelajari sekaligus mencoba menuntaskan
suatu jalur.
Setelah begitu banyak melihat gaya pemanjat dalam menuntaskan jalur,kita
dapat dapat membandingkan mana yang lebih sulit. Dengan begitu dapat pula
dibandingkan perbedaan kemampuan seorang pemanjat.
C. PERTIMBANGAN LAIN
1. Gunakan Chock dan Runners (titik pengaman) Alam. Pendakian tebing adalah
sesuatu kesatuan yang harus ditangani secara hati-hati. Yang harus diperhatikan
adalah masalah penggunaan runners alam dan chockstone buatan, karena alat
tersebut membiarkan tebing tetap utuh.
Pengunaan piton (paku tebing) dalam suatu pendakian masih menimbulkan cacat
pada tebing. Kerusakan yang ditimbulkannya adalah karena :
a. Mempersulit atau mempermudah rute dengan merubah sifatnya.
b. Menimbulkan noda-noda goresan yang tidak sedap dipandang.
c. Dapat melepas belahan batu besar atau serpihan-serpihan batu.
Jadi walaupun dalam kasus-kasus dimana pendakian pertama menggunakan piton,
kita harus berusaha memperkecil penggunaan piton karena sifatnya yang merusak
2. Sampah
Jika kita membawa kaleng makan dalam suatu pendakian, injak kaleng tesebut
dan bawalah keatas. Lebih baik lagi jika membawa makanan yang tidak dalam
kaleng. Kulit jeruk sebaiknya disimpan kembali karena tidak dimakan oleh
binatang dan sangat lambat pembusukannya.
V. TEKNIK PANJAT TEBING
A. STRUKTUR GUNUNG
Dengan mengetahui struktur suatu gunung, akan lebih mudah bagi kita untuk
merencanakan sebuah rute yang akan didaki. Merencanakan tempat untuk berhenti
istirahat, dan sebagainya. Faktor lain yang memiliki kaitan erat adalah musim
dan cuaca terutama arah angin. Akan lebih sulit apabila kita mendaki dinding
selatan pada saat angin bertiup kencang dari arah selatan daripada kalau angin
bertiup dari utara.
Sebelum seseorang memanjat tebing, seperti juga pada Hill Walking, maka
diperlukan pengetahuan rute yang akan diambil. Di negara-negara maju disediakan
buku petunjuk rute suatu tebing dengan tingkat kesulitannya. Pendaki dapat
memilih rute yang akan didaki dengan memperhitungkan kemampuannya.
B. PERALATAN PANJAT TEBING
1. Tali Fungsi utama tali adalah untuk melindungi pendaki
dari kemungkinan jatuh sampai menyentuh tanah (freefall). Berbagai jenis tali
yang digunakan dalam Panjat Tebing adalah :
a. Tali serat alam Jenis tali ini sudah jarang digunakan.
Kekuatan tali ini sangat rendah dan mudah terburai. Tidak memiliki kelenturan,
sehingga membahayakan pendaki.
b. Hawser Laid Tali sintetis, plastik, yang dijalin seperti
tali serat alam. Masih sering digunakan terutama untuk berlatih turun tebing.
Tali ini relatif lebih kuat dibanding tali serat alam dan tidak berserabut.
Kelemahannya adalah kurang tahan terhadap zat kimia, sulit dibuat simpul dan
mempunyai kelenturan rendah serta berat.
c. Core dan Sheat Rope (Kernmantel Rope) Tali yang paling
banyak digunakan saat ini, terdiri dari lapisan luar dan dalam. Yang terkenal
adalah buatan Edelrid, Beal dan Mammut. Ukuran tali yang umum dipakai bergaris
tengah 11 mm, panjang 45 m. Untuk pendakian yang mudah, snow climbing, atau
untuk menaikkan barang dipakai yang berdiameter 9 mm atau 7 mm. Tali ini
memiliki sifat-sifat :
- Tidak tahan terhadap gesekan dengan tebing, terutama tebing laut (cliff).
Bila dipakai untuk menurunkan barang, sebaiknya bagian tebing yang bergesekan
dengan tali diberi alas (pading). Tabu untuk menginjak tali jenis ini. - Peka
(tidak tahan) dengan zat kimia. - Tidak tahan terhadap panas. Bila tali telah
dicuci sebaiknya dijemur di tempat teduh. - Memiliki kelenturan yang baik bila
mendapat beban kejut (karena pendaki jatuh, misalnya)
Pada umumnya tali-tali tersebut akan berkurang kekuatannya bila dibuat
simpul. Sebagai contoh, simpul delapan (figure of eight) akan mengurangi
kekuatan tali sampai 10%.
Karena sifat tali yang demikian, maka dibutuhkan perawatan dan perlakuan
yang baik dan benar. Cara menggulung tali juga perlu diperhatikan agar tidak
kusut, sehingga tidak mudah rusak dan mudah dibuka bila akan digunakan. Ada
beberapa cara menggulung tali, antara lain :
- Mountaineers coil - Skein coil - Royal robin style
gambar2. berbagai teknik menggulung tali
2. Webbing (tali pita) dan Sling Seringkali kita menyebut
webbing sebagai sling atau sebaliknya. Webbing memiliki bentuk seperti pita,
dan ada dua macam. Pertama lebar 25 mm dan berbentuk tubular, sering digunakan
untuk :
- Harness (tali tubuh), swami belt, chest harness, atau - Alat bantu
peralatan lain, sebagai runners (titik pengaman), tangga (etrier) atau untuk
membawa peralatan.
Webbing yang lain memiliki lebar 50 mm dan berbentuk pipih, yang biasa
digunakan untuk macam-macam body slings. Webbing yang sering disebut juga
sebagai flat rope adalah produk sampingan perang dunia II.
gambar 3. carabiner screw gate
3. Carabiners (snapring, snapling, cincin kait) Secara
prinsip, carabiner digunakan untuk menghubungkan tali dengan runners (titik
pengaman), sehingga carabiner dibuat kuat untuk menahan bobot pendaki yang
terjatuh.
Persyaratan yang harus dibuat oleh assosiasi pembuat peralatan panjat tebing
mengharuskan carabiner dapat menahan bobot 1200 kilogram force (kp) atau
sekitar 2700 pounds. Sedangkan beban maksimum yang diperbolehkan adalah sekitar
5000 pounds.
Carabiner yang terbuat dari campuran alumunium (Alloy) ini sangat ringan dan
cukup kuat, terutama yang bebentuk D. Carabiner yang terbuat dari baja
mempunyai kekuatan yang sangat tinggi sampai 10.000 pounds tetapi relatif berat
bila dibawa dalam jumlah banyak untuk suatu pendakian.
Berikut ini adalah tabel daftar carabiners, pabrik pembuat dan kekuatan
menahan bobot. Bagian yang paling lemah dari carabiner adalah pin, carabiner
bentuk D relatif lebih aman dibanding bentuk oval, karena terdapat cekungan
yang memberi ruang bagi pin saat carabiner mendapat beban. Kelebihan dari
carabiner bentuk oval adalah relatif mudah dikaitkan pada piton.
tabel 2. kekuatan carabiner
Ada carabiner yang dilengkapi tutup pada pintunya (screw gate). Hal ini
dimaksudkan agar carabiner tidak tebuka gatenya karena sesuatu hal. Tentunya
carabiner ini lebih berat dibandingkan yang tanpa tutup (non screw gate).
4. Piton (peg, paku tebing) Terbuat dari bahan metal dalam
berbagai bentuk. Berfungsi sebagai pengaman, piton ini ditancapkan pada rekahan
tebing. Sebagai kelengkapan untuk memasang atau melepas piton digunakan hammer.
gambar 4. Piton
Pada umumnya piton dapat digolongkan dalam 4 jenis, yaitu Bongs, Bugaboos,
Knife-blades dan Angle. Piton jenis angle, knife-blades, dan bongs biasanya
digunakan untuk rekahan horizontal maupun vertikal. Sedangkan yang bugaboos
biasanya dibuat khusus untuk horizontal atau vertikal saja.
Cara pemasangan piton sangat sederhana. Setelah memeriksa rekahan yang akan
dipasang piton, kita memilih piton yang cocok dengan rekahan, lalu ditancapkan
dan pukul dengan hammer. Salah besar kalau kita memilih piton dulu baru memilih
rekahan pada tebing. Untuk mengetahui rapuh tidaknya rekahan yang akan kita
pasang piton, adalah dengan memukulkan hammer pada tebing sekitar rekahan.
Suara yang nyaring menunjukkan rekahan tersebut tidak rapuh.
Adakalanya rekahan yang kita hadapi membutuhkan cara pemasangan yang berbeda
dan atau perlu dimodifikasi dengan alat lain, sehingga perlu beberapa cara
khusus dalam pemasangannya.
Cara melepas piton adalah dengan menggunakan hammer yang kita pukulkan pada
mata piton searah dengan rekahan sampai pada akhirnya piton dapat ditarik.
gambar 5. Berbagai jenis piton dan hammer
gambar 6.Memasang Piton
5. Chock Disamping piton, chock juga berfungsi sebagai alat
pengaman (runners). Dibuat dalam beberapa jenis dan ukuran, dapat dibagi
menjadi : sling chock, wired chock, dan rope chock. Diantaranya berbentuk
hexentric dan foxhead.
Chock dibuat dari alumunium alloy sehingga sangat ringan. Cara memasang
chock adalah dengan menyangkutkan pada rekahan. Sangat disukai pemanjat yang
berpengalaman, karena mudah menempatkannya pada rekahan dan tidak memerlukan
tenaga serta waktu banyak seperti halnya memasang piton.
6. Ascendeur Ascendeur digunakan sebagai alat bantu naik,
merupakan perkembangan dari prusik, mudah mendorongnya ke atas tapi dapat
menahan beban. Dalam menggunakan ascendeur sebaiknya menggunakan sling terlebih
dahulu sebelum disangkutkan pada carabiner. Ascendeur terbagi menjadi 2 jenis
yaitu :
a. Jumar Merupakan alat bantu naik pertama, terbuat dari
kerangka alumunium dan baja. Alat ini dapat dipakai untuk tali berdiameter 7 –
11 mm dan berkekuatan 1100 pounds. Jumar sendiri dapat dibagi menjadi 3 macam :
- Standard jumar
- Jumar
- Jumar CMI 5000 (ColoradoMountains Industries). Jenis ini mempunyai
kekuatan sekitar 5000 pounds dan carabiner dapat langsung disangkutkan pada
kerangkanya.
b. Clog Alat naik mekanis yang lain, mempunyai prinsip
kerja yang sama seperti jumar. Alat ini banyak digunakan di Inggris.
7. Descendeur Alat ini digunakan turun tebing (abseiling,
rapeling). Pada prinsipnya untuk menjaga agar pendaki tidak meluncur bebas.
Keuntungan lainnya adalah tubuh tidak tergesek tali, sehingga tidak terasa
panas.
gambar 8. jenis descendeur
Beberapa jenis descendeur : a. Figure of eight b. Brake bar c. Bobbin (petzl
descendeur) - single rope - double rope d. Modifikasi carabiner . Carabiner
yang kita susun sedemikian rupa sehingga berfungsi semacam brake bar.
8. Etrier (tangga) Bila rute yang akan dilalui ternyata
sulit, karena tipisnya pijakan dan pegangan, maka etrier ini sangat membantu
untuk menambah ketinggian. Pada Atrificial Climbing, etrier menjadi sangat
vital, sehingga tanpa alat ini seorang pendaki akan sulit sekali untuk menambah
ketinggian.
gambar 9. etrier
9. Harness Harness sangat menolong untuk menahan tubuh,
bila pendaki terjatuh, Juga akan mengurangi rasa sakit dibandingkan bila kita
menggunakan tali langsung ke tubuh dengan simpul bowline on a coil.
Harness yang baik tidak akan mengganggu gerak tubuh dari pendaki. Akan
tetapi sangat terasa gunanya bila pendaki dalam posisi istirahat.
Jenis – jenis harness :
a. Full body harness Harness ini melilit di seluruh tubuh,
relatif aman dan biasanya dilengkapi dengan sangkutan alat disekeliling
pinggang. Sering dipakai di medan salju/es.
b. Seat harness Harness ini lebih sering dipakai, mungkin
karena tidak begitu mengganggu pendaki dalam bergerak. Seat harness dapat
dibuat dari webbing (swami belt) dan diapersling atau dengan menggunakan figure
of eight sling.
10. Helm Bagian tubuh yang paling lemah adalah kepala,
sehingga perlu mengenakan helm untuk melindungi dari benturan tebing saat
pendaki terjatuh atau bila ada batu yang berjatuhan. Meskipun helm agak
mengganggu, tetapi kita akan terhindar dari kemungkinan terluka atau keadaan
fatal.
11. Sepatu Sepatu sangat berpengaruh pada suatu pendakian,
ini pun tergantung pada medan yang akan dilalui. Untuk medan batu kapur yang
licin dipakai sepatu yang bersol tipis dan rata. Sedangkan untuk medan sand
stone (batu pasir) atau medan basah dipakai yang bersol tebal dan bergerigi.
Sepatu panjat biasa dibuat tinggi, untuk melindungi mata kaki.
C. PENGETAHUAN TALI-TEMALI
Tati-temali merupakan pengetahuan dasar penting untuk seorang pendaki.
Beberapa simpul yang perlu diketahui adalah:
1. Figure of eight knot (simpul delapan) Paling sering
dipakai, mudah dibuat serta melepaskanya setelah mendapat beban. Simpul ini
dipakai untuk menyambung tali.
gambar 10. Figure of Eight Knot dan Water Knot
2. Water knot (simpul pita) Sering digunakan untuk
menyambung webbing/sling/tali pita, meskipun dalam keadaan basah.
3. Bowline Biasanya dipakai untuk anchor (titik tambat),
karena sifatnya yang bila mendapat beban akan semakin mengikat. Bowline terdiri
dari :
a. Basic bowline b. Bowline on the bight
gambar 11. Basic Bowline dan Bowline on The Bight
4. Fisherman’s knot (simpul nelayan) Simpul ini sangat baik
untuk menyambung tali, baik tali dalam keadaan basah ataupun bila dua tali yang
disambung berbeda ukuran. Yang biasa digunakan :
a. Single fisherman’s knot b. Double fisherman’s knot
gambar 11. Single Fisherman’s knot dan Double Fisherman’s knot
5. Sheet bend
6. Prusik
7. Overhand Loop
gambar 12. Sheet band, Prusik dan Overhand Loop
D. PRAKTIK PANJAT TEBING
1. Bergerak Bergerak pada tebing lebih menuntut perhatian
kita dalam menggunakan kaki. Pijakan kaki yang mantap akan lebih memudahkan
kita dalam bergerak dan untuk memperoleh keseimbangan tubuh. Seorang yang baru
belajar panjat tebing biasanya akan memusatkan perhatian pada pegangan tangan.
Hal ini justru akan mempercepat lelah dan kehilangan keseimbangan.
Tangan sebenarnya hanya membantu kaki dalam mencapai keseimbangan tersebut,
kecuali untuk kasus-kasus tertentu, seperti melewati overhang, layback, dsb.
Untuk itu, bagi pemula sebaiknya memusatkan perhatian untuk mencari pijakan
(foot hold). Dan membisikkan pada dirinya sendiri “lihat ke bawah….!”.
Unsur terpenting dalam panjat tebing adalah keseimbangan; bilamana
menempatkan tubuh, sehingga beban tubuh dapat terpusat pada titik-titik pijakan.
Prinsip tiga point sangat baik untuk diterapkan. Yaitu hanya menggerakan satu
anggota badan saja (kaki kiri/kanan dan tangan kiri/kanan), sementara tiga
anggota badan lain tetap pada pijakan/pegangan.
Kesalahan lain yang biasa dibuat oleh seorang pemanjat pemula adalah
menempelkan tubuhnya rapat ke tebing. Hal ini justru merusak keseimbangannya.
Tubuh yang menempel pada tebing akan menyusahkan seorang pendaki dalam
bergerak.
Dalam melakukan gerakan, tidak perlu mencari pegangan yang terlalu tinggi
karena akan cepat menguras tenaga. Seperti halnya bila kita berjalan dengan
langkah lebar tentu akan cepat lelah. Bergeraklah seperti ‘puteri solo’,
melakukan langkah kecil, tenang tapi pasti.
Hal lain yang mendukung dalam setiap jenis olahraga adalah semangat. Dengan
berlatih serius tentu kita akan dapat bergerak dengan anggun. Ada perkataan
seperti ini, “The best training for rock-climbing is rock-climbing”, ya
berlatih panjat tebing sebaiknya ditebing, melakukan panjat tebing itu sendiri.
Sekali lagi, cobalah untuk mengingatkan diri sendiri dengan membisikkan
kata-kata, “lihat ke bawah….”.
2. Menggunakan Kaki Dalam setiap gerakan, pengerahan energi
harus diperhitungkan, sehingga pada saat dibutuhkan, energi tersebut dapat
dikerahkan secara penuh. Konservasi energi dengan koordinasi antara otak dengan
tubuh adalah keseimbangan antara apa yang terpikir dan apa yang mampu dilakukan
tubuh kita.
Posisi telapak kita jelas akan menentukan ketepatan titik beban pada kaki.
Menempelkan lutut pada tebing justru akan merusak keseimbangan. Usahakan untuk
merencanakan penempatan kaki dahulu sebelum mencari pegangan tangan. Gambar di
bawah menunjukkan beberapa penempatan kaki.
3. Menggunakan Tangan Setelah menempatkan posisi kaki
dengan benar, tangan akan membantu dalam mencapai keseimbangan tubuh seseorang
pendaki dengan memanfaatkan rekahan atau tonjolan batu. Rekahan tersebut bisa
berupa rekahan kecil dan besar yang cukup untuk seluruh badan. Tonjolan secara
garis besar dapat dibagi menjadi tiga macam, tonjolan tajam (incut), tonjolan
datar (flat), dan tonjolan bulat (rounded/sloping).
Berdasarkan retakan dan tonjolan tebing, maka pegangan dapat dibagi menjadi
beberapa macam:
a. Pegangan biasa Untuk tonjolan yang cukup besar (incut
dan flat), seluruh tangan dapat digunakan, tapi ada kalanya sangat kecil
sehingga hanya jari yang dapat digunakan.
gambar 13. Flat Hold, Pressure push hold
b. Pegangan Tekan (pressure push hold) Pegangan ini
diperoleh dengan cara mendorong tangan pada bidang batu yang cukup luas.
c. Pegangan Jepit Jenis ini dipakai untuk tonjolan bulat
(rounded atau slopping). Kalau tonjolan ini cukup besar bisa seluruh tangan
digunakan, tetapi bila kecil hanya jari saja yang digunakan.
d. Jamming Pegangan ini dilakukan secara khusus, yaitu
dengan cara menyelipkan tangan sehingga menempel dengan erat. Sesuai besar
kecilnya celah batu jamming dibagi atas beberapa macam:
- jamming dengan jari atau tangan (finger and hand jamming) - jamming dengan
kepalan atau lengan (fist and arm jamming)
gambar 14. Jamming
4. Gerakan Khusus Dalam Panjat Tebing Dalam bergerak,
sering dijumpai kondisi medan yang sulit dilewati dengan hanya mengandalkan
teknik pegangan biasa. Untuk itu, ada beberapa gerakan khusus yang penting
diketahui.
a. Layback Diantara dua tebing yang berhadapan dan
membentuk sudut tegak lurus, sering dijumpai suatu retakan yang memanjang dari
bawah ke atas. Gerakan ke atas untuk kondisi tebing seperti itu dengan
mendorong kaki pada tebing di hadapan kita dan menggeser-geserkan tangan pada
retakan tersebut ke atas secara bergantian pada saat yang sama. Gerakan ini
sangat memerlukan pengerahan tenaga yang besar, karenanya gerakan harus
dilakukan secara tepat sebelum tenaga kedua tangan habis.
b. Chimney Bila kita menemukan dua tebing berhadapan yang
membentuk suatu celah yang cukup besar untuk memasukkan tubuh, cara yang
dilakukan adalah dengan chimney yaitu dengan menyandarkan tubuh pada tebing
yang satu dan menekan atau mendorong kaki dan tangan pada dinding yang lain.
Tindakan selanjutnya adalah dengan menggeser-geserkan tangan, kaki dan tubuh
sehingga gerakan ke atas dapat dilakukan. Berdasarkan lebar celah batu yang
kita hadapi, maka chimney dapat dibagi atas:
- Wriggling Wriggling dilakukan pada celah yang tidak terlalu luas sehingga
cukup untuk tubuh saja.
- Backing Up Backing Up dilakukan pada celah yang cukup luas, sehingga badan
dapat menyusup dan bergerak lebih bebas.
- Bridging Bridging dilakukan pada celah yang sangat lebar sehingga hanya
dapat dicapai apabila merentangkan kaki dan tangan selebar-lebarnya.
c. Mantelshelf Dilakukan bila menghadapi suatu tonjolan
datar atau flat yang luas sehingga dapat menjadi tempat untuk berdiri. Caranya
yaitu dengan menarik tubuh dengan kekuatan tangan dan tolakan kaki sehingga
dapat melalui tonjolan tadi. Salah satu kaki kemudian menginjak dataran batu
tersebut sejajar dengan tangan, disusul dengan kaki yang lainnya.
d. Cheval Cara ini dilakukan pada batu yang biasa disebut
arete yaitu bagian punggung tebing batu dengan bidang yang sangat tipis dan
kecil.Pendaki yang menggunakan cara ini mula-mula duduk seperti menungang kuda
pada arete, lalu dengan kedua tangan menekan bidang batu dibawahnya, ia
mengangkat atau memindahkan tubuhnya ke atas.
e. Traversing Adalah gerakan menyamping atau horisontal
dari suatu tempat ke tempat lain. Gerakan ini dilakukan untuk mencari bidang
batu yang baik untuk dipanjat, untuk mencari rute yang memungkinkan menuju ke
atas. Karena gerakan ini horisontal, biasanya lebih banyak digunakan tangan
dari pada kaki (hand traveserse).
gambar 15. Traversing
f. Slab Climbing / Friction Climbing Dilakukan pada tebing
yang licin dan tanpa celah atau rekahan serta kondisi tidak terlalu curam.
5. Leading and Runners
a. Leading (memimpin pendakian) Umumnya dalam setiap
pendakian, harus ada seorang yang menjadi pendaki pertama (leader), biasanya
dipilih seorang yang berpengalaman. Untuk menjadi leader dibutuhkan pengetahuan
yang cukup tentang panjat tebing. Ketenangan dalam menyelesaikan rute-rute
sulit, menempatkan piton-piton dan chock dengan tepat, keyakinan untuk bergerak
ke atas dengan mulus serta dengan keyakinan pula menempatkan diri pada posisi
istirahat. Bila rute tersebut masih asri / belum terjamah sebelumnya, maka
menciptakan rute baru menurut seorang pendaki terkenal merupakan karya seni
yang luar biasa. Untuk mengamankan dirinya dari kemungkinan jatuh, seorang
leader akan menempatkan suatu rangkaian jalur pengaman pada tempat-tempat yang
tepat. Jalur pengaman (runners) yang dibuat selurus mungkin, ini dimaksudkan
untuk mengurangi gesekan antara karabiner dengan tali pengaman. Hal ini untuk
mencegah copotnya runners.
b. Runners Runners adalah tempat tumpuan tali pengaman yang
dipasang oleh pendaki pertama untuk memperkecil jarak jatuh yang mungkin
timbul. Semakin banyak runners yang dipakai, makin terjaga pula pengamanan
untuk si pendaki. Akan tetapi banyak juga para pendaki yang beranggapan bahwa
pemakainan runners harus sesedikit mungkin, untuk menjaga kelestarian tebing
bersangkutan. Runners umumnya dipakai untuk proteksi pendaki pertama, akan
tetapi untuk kasus-kasus tertentu bisa juga dipakai untuk proteksi pendaki
kedua. Sesuai perkembangan peralatan panjat tebing, runners dapat dibentuk dari
banyak alat. Akan tetapi pada prinsipnya runners dapat dibentuk dengan piton,
sling, dan chock.
6. Belaying dan Anchor
a. Belaying Merupakan hal yang penting dalam suatu
rangkaian panjat tebing (claimbing chain). Belayer yang baik harus terlatih
sehingga dapat menyelamatkan leader, bila leader terjatuh. Untuk itu dibutuhkan
latihan, disamping memahami cara-cara yang tepat. Komunikasi antara belayer
dengan leader harus jelas dan dimengerti oleh kedua belah pihak. Karena
adakalanya leader minta belayer untuk mengendorkan tali (slack) ataupun
mengencangkan tali (tension). Cara penempatan anchor untuk belayer dan teknik
belay yang baik dapat dilihat pada gambar di bawah.
b. Anchor Anchor (jangkar) adalah suatu titik keamanan awal
dimana yang kita buat disangkutkan di sana. Anchor berguna untuk mengikatkan
tali yang telah bersimpul tersebut dan dipakai untuk rappeling (turun), naik
(memakai alat) atau untuk mengikatkan seseorang bila ia menjadi seorang
belayer. Ada anchor alamiah yang relatif kuat dan ada pula anchor buatan dengan
bantuan piton, bolt, chock, sling, dan etrier. Anchor buatan umumnya dipakai
bila sama sekali tidak ada anchor alamiah misalnya pada suatu pitch di
tengah-tengah tebing.
gambar 16. Membuat Anchor Bolt
c. Belaying dan penggunaan Runners Ada beberapa pendaki
yang senang melakukan panjat tebing seorang diri, tetapi kebanyakan kegiatan
ini dilakukan oleh satu kelompok yang terdiri dari beberapa pendaki. Dalam
‘free climbing’ beberapa alat pendakian juga digunakan, meskipun pemakaian
terbatas untuk proteksi saja. Tali misalnya, bukan untuk memanjat atau
pegangan, tapi untuk tali pengaman (safety rope) yang menghubungkan pendaki
dengan pendaki lain yang menjadi belayer.
Demikian halnya alat-alat lain seperti karabiner, piton, chock atau sling
yang semuanya digunakan untuk proteksi. Pendakian oleh satu kelompok dipandang
sebagai suatu hal yang menjamin keamanan para pendaki. Pendaki pertama diikat
dengan tali pengaman yang dihubungkan dengan pendaki kedua yang melakukan
belaying. Untuk menghindarkan akibat jatuh yang fatal, maka jarak jatuh si
pendaki dengan belayer harus dipersempit. Caranya yaitu dengan menempatkan
runners (running belay) pada jarak-jarak di tebing batu. Dengan menempatkan
runners sebanyak mungkin, diharapkan faktor kejatuhan (fall factor) dapat
diperkecil.
Bila pendaki pertama berhasil mencapai tempat berpijak yang aman, maka
sekarang ia membantu mengamankan pendaki kedua dengan memberikan belaying
(upper belay). Jarak antara tempat pendaki pertama berpijak dengan pendaki
kedua yang menjadi belayer (low belaying) secara teknis disebut “pitch”. Jadi
banyak pitch pada satu tebing tergantung frekuensi belaying yang dilakukan.
7. Abseiling (Rapeling) Setelah mencapai puncak tebing,
persoalan berikutnya adalah bagaimana turun kembali. Pada saat turun, pandangan
pendaki tidak seluas atau sebebas ketika mendaki. Inilah sebabnya mengapa turun
lebih sulit dari pada mendaki. Karenanya alat sangat diperlukan pada saat turun
tebing (abseiling/rapeling). Cara turun dengan menggunakan tali melalui gerakan
atau sistem friksi sehingga laju luncur pendaki dapat terkontrol.
Berdasarkan pemakaian alat maka abseiling dapat dibagi atas : teknik tanpa
karabiner (classic method) dan teknik dengan karabiner (crab method).
gambar 17. Abseiling
a. Teknik Dulfer Cara klasik dalam turun tebing. Hanya
menggunakan tali luncur (abseiling rope) yang diletakkan diantara dua kaki lalu
menyilang dada dan melalui bahu. Laju turun ditahan dengan satu tangan.
b. Teknik Modified Dulfer Teknik semi klasik. Menggunakan
karabiner tersebut tali luncur menyilang ke salah satu bahu lalu dipegang oleh
satu tangan untuk kontrol.
c. Teknik Komando Di Indonesia, cara ini sering dipakai
oleh para komando. Caranya dengan melilitkan karabiner dengan tali sebanyak dua
kali, dan dengan melewati antara kaki maka laju badan dikontrol dengan gerakan
tali luncur tersebut pada salah satu tangan. Adakalanya tali luncur tersebut
tidak melalui dua kaki tetapi hanya satu paha, lalu gerakan friksinya diatur
oleh tangan yang sejajar dengan paha tersebut.
d. Teknik Brake Bar Empat buah karabiner disusun melintang
sedemikian rupa sehingga merupakan sistem friksi (lihat kembali: descendeur),
lalu tali luncur melewatinya dengan dikontrol oleh satu tangan pendaki. Sistem
friksi kemudian dikembangkan dengan sistem descendeur khusus yang disebut bar
crab.
Abseiling dengan penggunaan karabiner atau tanpa karabiner dilakukan pada
tebing batu yang tidak terlalu tinggi. Bila kita berhadapan dengan satu tebing
yang panjang atau tinggi, maka cara ini tidak dianjurkan.Untuk kasus seperti
itu dapat menggunakan descendeur, seperti figure of eight, bobbin atau brake
bar.
Karena abseiling sangat tergantung pada alat yang dipakai maka persiapan
penggunaanya harus betul-betul diperhatikan. Pastikan bahwa ikatan pada anchor
benar-benar kuat. Periksa kembali apakah ujung tali telah disimpul. Sebaiknya
selain abseile rope persiapkan juga safety rope yang diamankan oleh pendaki
kedua.
Dengan memasang karabiner untuk meluncur, mutlak diperhatikan arah pintu
(gate) karabiner tersebut. Ingat prinsip friksinya jangan sampai terbalik tetap
gate karabiner. Kalau perlu screw gate karabiner.Tangan yang mengontrol laju
tidak boleh dilepas, karena luncuran yang tidak terkontrol dapat berakibat
fatal.
Jangan memaksa untuk melakukan lompatan pada abseiling, kecuali pada tebing
yang menggantung (overhang). Turunlah perlahan-lahan, lompatan akan memberi
tekanan pada tali sehingga kemungkinan tali lepas atau aus lebih besar. Lagi
pula, lompatan sering membuat pendaki lepas kontrol dan mendarat kurang tepat.
8. Urutan Suatu Pendakian
a. Memilih rute Pada umumnya dipilih berdasarkan data-data
yang sudah ada, misalnya dari buku-buku panduan atau dari para pendaki yang
pernah melewatinya.
b. Mempersiapkan peralatan Persiapkan peralatan yang
dibutuhkan sesuai dengan rute yang dipilih.
c. Menentukan leader Leader dipilih oleh mereka yang
dianggap lebih berpengalaman. Apabila dalam regu tersebut kemampuannya sama,
leader dapat bergantian.
d. Mempersiapkan pendakian - Buat anchor pada posisi yang
tepat. - Leader mempersiapkan diri, yaitu seluruh peralatan pendakian yang
ditempatkan pada gantungan yang tersedia atau pada sekeliling harness. -
Belayer mempersiapkan diri, yaitu dengan mengikatkan diri pada anchor. -
Aba-aba. Apabila leader telah siap, dia akan berkata “ belay on” dan disahuti
oleh belayer dengan “on belay”.
e. Memulai pendakian - Leader naik menuju pitch (belayer
harus seksama memperhatikan seluruh gerakan yang dilakukan oleh leader, cara
memasang chock, melewati overhang/tebing atap/tebing yang menggantung
istirahat, memasang sling, dsb. - Leader menyangkutkan tali pengaman pada
runner yang dibuatnya. - Berikutnya kadang-kadang leader melakukan gerakan
khusus atau menggunakan tangga untuk dapat terus naik. - Bila leader jatuh akan
tertolong oleh belayer bila runner telah terpasang kuat. - Setelah cukup tinggi
sekitar 40 meter lebih, leader akan mencari tempat yang cukup aman untuk
memasang anchor. - Adakala sebelum setinggi itu terdapat teras lebih baik
anchor dipasang di sini. Bila leader merasa cukup aman terikat pada anchor yang
dibuat dia akan berkata “belay off” - Leader telah menyelesaikan pitch I
gambar 18. urutan pendakian
f. Belayer mempersiapkan diri untuk menyusul leader ke pitch I
- Langkah pertama ia akan membuat anchor - Ujung tali yang dipakai untuk
mem-belay disangkutkan pada tubuhnya - Belayer melakukan cleaning up
(membersihkan runner yang dibuat oleh leader). Biasanya ia dilengkapi oleh
hammer yang berguna untuk mencopot piton. - Belayer sebagai pendaki kedua
sampai di pitch I
g. Meneruskan ke pitch I - Bila ada pendaki ketiga, leader
akan memasang fixed rope (tali tetap) untuk pendaki ketiga yang naik
menggunakan ascendeur. - Bila hanya berdua, akan dimulai proses pendakian
seperti sebelumnya.
9. Artificial Climbing Pada suatu keadaan tertentu dimana
tebing tidak ada hold (tonjolan batu) tetapi hanya ada rekahan kecil yang tidak
dapat digunakan untuk pijakan dan pegangan, maka pendakian akan menggunakan
alat berupa piton, friend, chock serta etrier dalam menambah ketinggian.
Dalam hal ini etrier menjadi alat yang sangat vital sebagai pijakan. Dengan
cara menempatkan etrier pada chock/friend/piton yang terpasang pada rekahan.
Pendaki memasang lebih ke atas lagi chock/friend/piton, kemudian etrier
dipindahkan pada chock/friend/piton yang terpasang tersebut. Demikian
seterusnya berulang-ulang sehingga pendaki mencapai ketinggian yang diinginkan.
Demikianlah ringkasan suatu pendakian pada umumnya. Akhirnya makalah ini
kami cukupkan sampai di sini. Untuk lebih jelas sebaiknya kita berlatih di
lapangan/tebing.