Selasa, Februari 28

Background of East Timor



The East Timorese, living in the eastern half of the island of Timor, which lies between Indonesia and Australia, occupy a land whose area is 14,875 km2.. The population 1975, when the Portuguese left, was 680,000 – 97% Timorese (including mestizos), 2% Chines, under 1% Portuguese.(The population today is 800,000 – 78% Timorese, 2% Chinese, 20% Indonesia ). East Timor has a common boundry with West Timor, which is part of Indonesia, the former Dutch East Indies.
For centuries the East Timorese had been farmers, living in scattered hamlets and eating what they grew. Only a few coastal East Timorese were fishermen. Trading and shop keeping had for generations been in the hands of the Chinese.
East Timor is extremely mountainous, so the majority of East Timorese had always lived in isolation, far from towns and foreign influences, tied to their field and animistic practices. In spite of centuries of Catholic missionary work by the Portuguese, in 1975 animists still numbered as much as 72% of the population. The local Timorese king played an important military was almost non-existent.
                                                                     
                                                                    Culture
Culturally speaking, one of the most remarkable facts about the Timorese is their ethno-cultural heterogeneity. This is evident in the various languages and dialects as well as differences in material goods, most notably in regional architecture. The Timorese people have a rich oral tradition in which mythology and legend play an important role in passing on knowledge about the pre-colonial period and the later evolution of the kingdoms. There is also a long tradition of animist spiritualism in Timor which remains highly influential today, despite exposure to major powerful religions and the Timorese people’s growing allegiance to the Catholic Church.
                                                        
                                                     Neither Hinduism nor the
                                          Islam had influence in the Timorese beliefs.
                                            That achievement was reserved to the
                                                        Christian missionaries.
When the Portuguese first disembarked in Timor, the inhabitants were identified as animists. In 1522, Pigafetta referred to the Timorese as “gentiles”, and wrote that “when they go cut sandalwood, it was told to us that the demon appears in various forms and tells them to ask for something that they need”. Later, in 1559 the priest Baltazar Dias states in a letter that the Timorese “are the beastliest people that exist in these parts. Nothing do they adore, neither have [they] idols. Everything what the Portuguese tell them, they do it.”. This indicates that the expansion of the Islamic religion from Malaysia in the 15th century hadn't reached Timor (although it is said that the Sultan of Ternate, Cachil Aeiro, should have subjected the island).  

While the Malays, Chinese, Japanese and others frequented Timor and surrounding islands before the arrival of the Portuguese, colonisation and religious conversion (eg to Islam) was not their purpose nor was it permitted by the local Chiefs (Liurais). For instance, just like the early years of Portuguese contact, the Muslims appeared to have lived on the island only for the short period of time needed to cut and load the highly prized sandalwood trees. In the words of the captain of Malacca in 1518 to King D. Manuel, the Timorese also “had natural aversion to the Muslims”.
Animist religion in Timor-Leste revolves around the spirits of the dead who are both feared and worshipped. These spirits are materialized through stones, animals, wells, streams or objects endowed with mysterious magical powers that can be either good or evil. In Timor these are called ‘Luliks’, which means sacred and intangible.
Efforts to promote spiritual conversion to Christian Catholicism were introduced into Timor through Portuguese colonisation. However, the influence of the Catholic Church really took hold and began to strengthen only after the Indonesian invasion. This is partly because the Church, particularly the Diocese of Dili, gained the respect and prestige of the people during this period because they often came to the defense of Timorese lives. Today more than 90% of Timorese identify Catholicism as their religion. Nevertheless, animist beliefs remain strong in Timor-Leste and only a minority of local Christians (serani in Tetum) can be considered as having no animist beliefs. For a few Timorese, animism remains their main spiritual religion which informs their cultural practices and outlook on life.

Selasa, Mei 10

Let People Be the Solution (opini, Resume)



Do you believe in people?
Apakah anda percaya terhadap orang, masyarakat, kepada banyak orang. Bagaimana mereka menyakinkan orang banyak untuk bekerja sama dalam membangun daerah atau kompleks mereka yang mereka tinggal. Hal ini yang dilakukan oleh beberapa orang(arsitek) dalam menyakinkan banyak orang untuk bekerjasa dalam mengelola dan membangun kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Beberapa system pemerintah pun mereka mempertimbangkan dalam melangsungkan program ini.
Learn from poor House
Belajar dari orang miskin, itu adalah cara seorang arsitek melakukan pendekatan terhadap rumah impian masyarakat miskin tersebut. Banyak cara yang mereka lakukan, Seperti membuat maket model rumah impian mereka. Menurut tanggapan saya, ini merupakan cara dan ide yang baik untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan mereka terhadap rumah yang mereka desain.
Sempat membahas beberapa permasalahan di Negara – Negara di Asia, seperti di Filipina, Indonesia, Thailand dan lainnya. Hampir semua permasalahan yang dihadapi adalah sama. Masyarakat kecil tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, tempat tinggal masih menjadi permasalahan yang besar bagi mereka, kebersihan lingkungan mereka juga dalam kategori tidak layak. Peranan arsitek, mereka datangi masyarakat kecil, mempeajari seluruh permasalahan yang ada, setelah itu mereka mencari solusi untuk masyarakat tersebut. Sangat menarik cara yang dipakai untuk melakukan pendekatan tersebut. Menurut pendapat saya, solusi yang mereka dapat pun dapat menyelesaikan sebagian dari permasalahan masyarakat kecl tersebut.
For people who has the accident: volcano, war, floods
Rumah bagi penduduk yang mendapat bencana alam, mereka mencari solusi untuk masyarakan yang mendapat masalah tersebut, beberapasolusi pun mereka dapat. Buka hanya dari segi teknik, mereka mempertimbangkan juga dari bahan yang digunakan.
Beberapa point penting dalam permasalahan pemukiman:
People have imagination to make better place for live
Everything by people: that’s the examples of the creativity of people
If everyone on earth lived like an American, we need six planets to support them
Poor is more

Have you ever learn from poor people, what are they need and what are they dream?

Rabu, April 6

Sedikit Tentang Rock Climbing



Mengapa orang-orang memilih olahraga ekstrim panjat tebing?
Menurut saya banyak orang menyukai kegiatan ini karena olahraga  ini sudah tersedia oleh alam dan begitu menggoda.  Rock climbing(panjat Tebing) ini menawarkan petualangan dan tantangan dari tebing batu. Panjat tebing membutuhkan kontrol dan keberanian dan melibatkan kekuatan besar dari pikiran dan tubuh. Ini merupakan olahraga individual dan juga sosial yang mana unsur bahayanya membuat lebih bernafsu untuk melakukan petualangan.
Panjat tebing adalah tentang keseimbangan, namun kreativitas dan konsentrasi juga diperlukan. Memanjat tebing adalah tantangan secara fisik dan olahraga yang menuntut faktor mental. Hal ini akan menguji daya tahan tubuh anda saat anda mendaki ke tujuan anda yaitu puncak tebing. Jadi sebaiknya miliki rencana, fokus, terus bergerak, bertahan di sana dan jangan menyerah. Panjat tebing akan membawa anda ke tingkat baru dari kesadaran akan alam di sekitar anda, membawa anda ke tempat yang luar biasa indah. Olahraga berbahaya ini juga membutuhkan kepercayaan, ketika anda jatuh, dan anda akan terjatuh, anda harus percaya kepada rekan memanjat anda sepenuhnya dengan hidup anda.
saudara saudari saya memiliki istilah yaitu Together to the top..
Dari saya..
Mendengar kata Rock Climbing (panjat tebing), kita seperti dikenalkan pada suatu jenis olahraga baru. Barangkali kita masih ingat masa kecil dulu, alangkah gembiranya kita bermain, memanjat tembok, pohon-pohon, atau batu-batu besar, di mana kita tidak memikirkan resiko jatuh dan terluka, yang ada adalah rasa gembira. Sebenarnya kegiatan Rock Climbing tidak jauh dari itu, cuma kali ini kita sudah memilih medan tertentu dengan memikirkan resikonya.
Dasarnya Rock Climbing adalah bagian dari kegiatan mendaki gunung, suatu perjalanan petualangan ke tempat-tempat yang tinggi, hanya di sini kita menghadapi medan yang khusus. Dengan membedakan daerah atau medan yang dilalui.


Sewaktu Latihan Rock climbing di parangedog  yogyakarta dengan kawan – kawan Gappala Duta Wacana.
Sabtu 19 maret 2011, kami mencoba memperagakan materi Rock climbing yang sudah kami pelajari selama ini di jalur brandal parangedog yogyakarta bersama teman – teman Gappala. semua peralatan rock climbing yang dibutuhkan pun disiapkan di markas Gappala.