“Masa Depan Dimulai Hari Ini,Bukan Besok!” — Yohanes Paulus II —
Ada lima tempat yang dikunjungi Paus Yohanes Paulus II (almarhum) pada
1989, yakni Jakarta, Jogjakarta, Flores (Maumere), Medan, dan Timor Timur.
Waktu itu Timtim masih menjadi bagian dari Indonesia. Kunjungan ke Flores
paling heboh dan unik.
Presiden Soeharto berserta menteri-menteri ‘Kabinet Pembangunan’ plus
ABRI saat itu agak ketar-ketir dengan rencana Paus Yohanes Paulus II menginap
satu malam di Maumere, Flores. Bukan apa-apa. Pemerintah RI khawatir dengan
keselamatan Sri Paus, yang nota bene Very-Very Important Person (VVIP).
Kenapa harus di Flores? Kenapa tidak menginap di Jakarta atau Denpasar
saja? Lagi pula, Flores tidak punya hotel yang layak untuk menampung Sri Paus
beserta rombongan besar. Jangankan hotel berbintang, mencari hotel melati di
Flores dan tempat-tempat lain di Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya sangat
sulit.
Tapi, Sri Paus asal Polandia ini, melalui Duta Besar Vatikan di Jakarta,
menegaskan, tetap akan tinggal satu malam di ‘pulau bunga’ Flores. Kabarnya, ia
ingin melihat dari dekat situasi umat Katolik di sana yang populasinya di atas
90 persen.
Di Flores, khususnya Kabupaten Sikka, juga ada dua seminari tinggi yang
sangat terkenal: Seminari Tinggi Ledalero dan Seminari Tinggi Ritapiret.
Ledalero menjadi tempat penggodokan para pastor Societas Verbi Divini (SVD)
yang berorientasi internasional, dengan moto ‘dunia adalah paroki kami’.
Ritapiret menjadi tempat pembibitan para iman praja yang akan berkarya di
wilayah Gereja Nusa Tenggara.
Nah, Sri Paus ingin merasakan langsung suasana seminari alias Sekolah
Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) di Flores itu. “Ini yang membuat beliau
ngotot menginap di Flores, selain karena umat Katolik di Flores memang
mayoritas. Sebagai gembala, dia ingin mengenal dari dekat domba-dombanya,” ujar
Pastor Antonius Waget SVD, alumnus Seminari Tinggi Ledalero.
Singkat cerita, sebulan sebelum kunjungan bersejarah ke Flores itu
kawasan seminari ‘disterilkan’ oleh aparat keamanan dari Jakarta. Kamar-kamar
seminari ditata sedemikian rupa untuk menyambut Bapa Suci yang juga kepala
negara Kota Vatikan itu. Kamar-kamar seminari direnovasi total agar layak
didiami Sri Paus dan ratusan anggota rombongan. “Sibuk luar biasa waktu itu,”
kenang Anton Waget.
Seminggu sebelum hari-H, ratusan warga Flores dari lima kabupaten
(Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur) sudah bergerak ke Maumere. Asal
tahu saja, jalan raya di sepanjang Flores (trans-Flores) saat itu sangat buruk
dan sempit.
Jarak Larantuka (Flores Timur) ke Maumere yang ‘hanya’ 136 kilometer
makan waktu delapan hingga sembilan jam. Jika mogok di jalan, bisa lebih lama
lagi. Tapi, begitulah, pekan pertama Oktober 1989 itu warga Flores rela bolos
atau tidak bekerja agar bisa mengikuti misa agung di Maumere.
Seperti di Jogjakarta dan Medan, misa di Flores pun sangat kental dengan
nuansa inkulturasi. Umat dari lima kabupaten seakan-akan berlomba untuk
menampilkan
tari-tarian dan musik tradisional untuk Sri Paus. “Kunjungan yang mengesankan,” ujar Paus Yohanes Paulus II.
tari-tarian dan musik tradisional untuk Sri Paus. “Kunjungan yang mengesankan,” ujar Paus Yohanes Paulus II.
Ada lagi cerita ringan di balik kunjungan ke Flores. Kebetulan di sana
ada Prof Dr Josef Glinka SVD, pastor dan antropolog asal Polandia, satu negara
dengan Sri Paus. Pater Glinka, yang kini pindah ke Surabaya dan menjadi guru
besar antropologi di Universitas Airlangga, kebagian tugas khusus.
Selain mendampingi dan menjadi penerjemah Sri Paus dalam bahasa Polandia
— meski Sri Paus yang satu ini poliglot (menguasai banyak bahasa) — Glinka
berperan sebagai konsultan bagi penyedia masakan bagi Sri Paus.
Asal tahu saja, selain pakar antropologi ragawi, Pater Glinka punya hobi
memasak di dapur. Sebagai warga Polandia, tentu saja Pater Glinka tahu persis
makanan kegemaran Sri Paus. Menurut dia, Paus Yohanes Paulus II sebenarnya
tidak rewel dalam soal makanan. Karena itu, ketika berada dua hari di Flores
tidak ada persoalan serius. Sri Paus tetap sehat dan melanjutkan perjalanan ke
Timor Timur.
Status Timtim di dunia internasional pada 1989 belum jelas. Secara de
facto Timtim diklaim sebagai provinsi ke-27 Indonesia karena ‘berintegrasi’
pada 1976. Namun, di sisi lain Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia
internasional tidak mengakuinya. Vatikan sendiri pun masih menganggap Timtim
sebagai wilayah yang belum punya pemerintahan sendiri.
Konsekuensinya, Keuskupan Dili yang dipimpin Mgr Carlos Filipe Ximenes
Bello (waktu itu) tidak masuk Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Kalaupun
Mgr Bello kerap mengikuti acara-acara KWI di Jakarta, misalnya, statusnya
hanyalah ‘peninjau’.
Nah, karena itu, kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Timtim punya
implikasi politik luar biasa. Pemerintah RI jelas berkepentingan agar Sri Paus
menggunakan forum kunjungan ini untuk mengakui status Timtim sebagai bagian
dari NKRI. Paus Yohanes Paulus II tentu saja tak ingin terjebak dalam perangkap
politik. Dengan cerdik, Vatikan menyebut kunjungan ini hanyalah kunjungan
pastoral biasa.
Dan, dalam misa di Dilli Sri Paus bersikap netral. Tak ada pernyataan
politik yang bersifat pro atau kontra kemerdekaan Timor Timur. Sri Paus hanya
meminta agar semua pihak menghormati hak-hak asasi manusia, menghormati
kehidupan, memajukan keadilan dan perdamaian. Isi khotbah normatif yang juga
sering disampaikan di tempat-tempat lain di dunia.
Mgr Bello, yang oleh rezim Orde Baru sering dituduh ‘anti-integrasi’,
pun berusaha meredam kecurigaan
pemerintahan Soeharto. Dia menegaskan,
kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Timor Timur pada 1989 tak lebih sebagai
kunjungan biasa seorang gembala kepada domba-dombanya. Bukankah Dioses
(Keuskupan) Dilli langsung berada di bawah Vatikan?
Begitulah, dalam kenyataan, kiprah almarhum Karol Wojtyla (nama asli
Paus Yohanes Paulus II) selama 26 tahun senantiasa mengandung dimensi politik
baik langsung maupun tidak. Ini pulalah yang ia lakukan saat menghancurkan
sistem komunisme di sejumlah negara Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar