Rabu, Januari 14

Paus Yohanes Paulus II Berkunjung Ke Indonesia (1989)



“Masa Depan Dimulai Hari Ini,Bukan Besok!” — Yohanes Paulus II —
Ada lima tempat yang dikunjungi Paus Yohanes Paulus II (almarhum) pada 1989, yakni Jakarta, Jogjakarta, Flores (Maumere), Medan, dan Timor Timur. Waktu itu Timtim masih menjadi bagian dari Indonesia. Kunjungan ke Flores paling heboh dan unik.
Presiden Soeharto berserta menteri-menteri ‘Kabinet Pembangunan’ plus ABRI saat itu agak ketar-ketir dengan rencana Paus Yohanes Paulus II menginap satu malam di Maumere, Flores. Bukan apa-apa. Pemerintah RI khawatir dengan keselamatan Sri Paus, yang nota bene Very-Very Important Person (VVIP).
Kenapa harus di Flores? Kenapa tidak menginap di Jakarta atau Denpasar saja? Lagi pula, Flores tidak punya hotel yang layak untuk menampung Sri Paus beserta rombongan besar. Jangankan hotel berbintang, mencari hotel melati di Flores dan tempat-tempat lain di Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya sangat sulit.
Tapi, Sri Paus asal Polandia ini, melalui Duta Besar Vatikan di Jakarta, menegaskan, tetap akan tinggal satu malam di ‘pulau bunga’ Flores. Kabarnya, ia ingin melihat dari dekat situasi umat Katolik di sana yang populasinya di atas 90 persen.
Di Flores, khususnya Kabupaten Sikka, juga ada dua seminari tinggi yang sangat terkenal: Seminari Tinggi Ledalero dan Seminari Tinggi Ritapiret. Ledalero menjadi tempat penggodokan para pastor Societas Verbi Divini (SVD) yang berorientasi internasional, dengan moto ‘dunia adalah paroki kami’. Ritapiret menjadi tempat pembibitan para iman praja yang akan berkarya di wilayah Gereja Nusa Tenggara.
Nah, Sri Paus ingin merasakan langsung suasana seminari alias Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) di Flores itu. “Ini yang membuat beliau ngotot menginap di Flores, selain karena umat Katolik di Flores memang mayoritas. Sebagai gembala, dia ingin mengenal dari dekat domba-dombanya,” ujar Pastor Antonius Waget SVD, alumnus Seminari Tinggi Ledalero.
Singkat cerita, sebulan sebelum kunjungan bersejarah ke Flores itu kawasan seminari ‘disterilkan’ oleh aparat keamanan dari Jakarta. Kamar-kamar seminari ditata sedemikian rupa untuk menyambut Bapa Suci yang juga kepala negara Kota Vatikan itu. Kamar-kamar seminari direnovasi total agar layak didiami Sri Paus dan ratusan anggota rombongan. “Sibuk luar biasa waktu itu,” kenang Anton Waget.
Seminggu sebelum hari-H, ratusan warga Flores dari lima kabupaten (Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur) sudah bergerak ke Maumere. Asal tahu saja, jalan raya di sepanjang Flores (trans-Flores) saat itu sangat buruk dan sempit.
Jarak Larantuka (Flores Timur) ke Maumere yang ‘hanya’ 136 kilometer makan waktu delapan hingga sembilan jam. Jika mogok di jalan, bisa lebih lama lagi. Tapi, begitulah, pekan pertama Oktober 1989 itu warga Flores rela bolos atau tidak bekerja agar bisa mengikuti misa agung di Maumere.
Seperti di Jogjakarta dan Medan, misa di Flores pun sangat kental dengan nuansa inkulturasi. Umat dari lima kabupaten seakan-akan berlomba untuk menampilkan
tari-tarian dan musik tradisional untuk Sri Paus. “Kunjungan yang mengesankan,” ujar Paus Yohanes Paulus II.
Ada lagi cerita ringan di balik kunjungan ke Flores. Kebetulan di sana ada Prof Dr Josef Glinka SVD, pastor dan antropolog asal Polandia, satu negara dengan Sri Paus. Pater Glinka, yang kini pindah ke Surabaya dan menjadi guru besar antropologi di Universitas Airlangga, kebagian tugas khusus.
Selain mendampingi dan menjadi penerjemah Sri Paus dalam bahasa Polandia — meski Sri Paus yang satu ini poliglot (menguasai banyak bahasa) — Glinka berperan sebagai konsultan bagi penyedia masakan bagi Sri Paus.
Asal tahu saja, selain pakar antropologi ragawi, Pater Glinka punya hobi memasak di dapur. Sebagai warga Polandia, tentu saja Pater Glinka tahu persis makanan kegemaran Sri Paus. Menurut dia, Paus Yohanes Paulus II sebenarnya tidak rewel dalam soal makanan. Karena itu, ketika berada dua hari di Flores tidak ada persoalan serius. Sri Paus tetap sehat dan melanjutkan perjalanan ke Timor Timur.
Status Timtim di dunia internasional pada 1989 belum jelas. Secara de facto Timtim diklaim sebagai provinsi ke-27 Indonesia karena ‘berintegrasi’ pada 1976. Namun, di sisi lain Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia internasional tidak mengakuinya. Vatikan sendiri pun masih menganggap Timtim sebagai wilayah yang belum punya pemerintahan sendiri.
Konsekuensinya, Keuskupan Dili yang dipimpin Mgr Carlos Filipe Ximenes Bello (waktu itu) tidak masuk Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Kalaupun Mgr Bello kerap mengikuti acara-acara KWI di Jakarta, misalnya, statusnya hanyalah ‘peninjau’.
Nah, karena itu, kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Timtim punya implikasi politik luar biasa. Pemerintah RI jelas berkepentingan agar Sri Paus menggunakan forum kunjungan ini untuk mengakui status Timtim sebagai bagian dari NKRI. Paus Yohanes Paulus II tentu saja tak ingin terjebak dalam perangkap politik. Dengan cerdik, Vatikan menyebut kunjungan ini hanyalah kunjungan pastoral biasa.
Dan, dalam misa di Dilli Sri Paus bersikap netral. Tak ada pernyataan politik yang bersifat pro atau kontra kemerdekaan Timor Timur. Sri Paus hanya meminta agar semua pihak menghormati hak-hak asasi manusia, menghormati kehidupan, memajukan keadilan dan perdamaian. Isi khotbah normatif yang juga sering disampaikan di tempat-tempat lain di dunia.

Mgr Bello, yang oleh rezim Orde Baru sering dituduh ‘anti-integrasi’, pun berusaha meredam kecurigaan
pemerintahan Soeharto. Dia menegaskan, kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Timor Timur pada 1989 tak lebih sebagai kunjungan biasa seorang gembala kepada domba-dombanya. Bukankah Dioses (Keuskupan) Dilli langsung berada di bawah Vatikan?
Begitulah, dalam kenyataan, kiprah almarhum Karol Wojtyla (nama asli Paus Yohanes Paulus II) selama 26 tahun senantiasa mengandung dimensi politik baik langsung maupun tidak. Ini pulalah yang ia lakukan saat menghancurkan sistem komunisme di sejumlah negara Eropa.